Artikel ini dimuat Koran Sindo edisi 30 Des 2022
DULU, pada suatu zaman di Indonesia, kudu hati-hati bicara atau mengajak ngobrol seseorang. Termasuk ngobrol dengan abang becak yang ditumpangi menuju suatu tempat. Salah bicara, ngomongin penguasa, becak belok dari tujuan, ngebut, ke kantor tentara. Sampai sana ditanya-tanya seraya mendengarkan suara orang ampun-ampun dari kamar sebelah. Si Abang becak ternyata petugas intelijen (intel).
Zaman itu, sepertinya lowongan kerja jadi intel tersedia cukup lebar. Banyak sekali intel menyamar jadi tukang becak, penjual sekoteng, nasi goreng dan sebagainya membuat orang was-was. Sampai-sampai, kata Prof. Hermawan Sulistyo (Kiki), aktivis gerakan reformasi, dulu, zaman Orde Baru tembok pun punya telinga, ngomong di kampus harus waspada karena intel sliweran. Nekat ngomongin penguasa, walau cuma bisik-bisik atau lewat puisi, orang bisa hilang, seperti Wiji Tukul, sampai sekarang tidak ada jejak. Kalaupun tidak hilang dipastikan susah hidup.
Masuk era reformasi, tentu, petugas intel tetap ada karena itu bagian dari tugas negara. Tetapi banyak orang ngomong nyablak bahkan pakai pengeras suara dan media, mengkritik penguasa allhamdulillah masih bisa pulang makan nasi anget. Bahkan menuduh presiden PKI, esoknya biasa saja, masih bisa makan enak. Meskipun tidak ditakuti seperti dulu tetapi kabar ada intel kepolisian menyamar sebagai wartawan bekerja di media Televisi Republik Indonesia (TVRI) sungguh mengejutkan. Lebih mengejutkan, ternyata intel yang sekarang jadi Kapolsek di Blora, Jawa Tengah itu sempat 14 tahun menjadi wartawan TVRI dan memiliki Kartu Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Luar biasa.
Media TVRI sendiri merupakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) walau dalam praktiknya masih banyak materi siaran, khususnya berita, condong sejalan dengan kebijakan pemerintah. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, yang dimaksud dengan LPP adalah badan hukum yang didirikan oleh negara bersifat mandiri, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan umum. Dengan demikian seharusnya TVRI bersifat kritis terhadap pemerintah karena merupakan corong publik tidak seperti zaman Orba menjadi medianya pemerintah. Karena belum menjadi media “oposisi” terhadap pemerintah maka agak aneh TVRI dicurigai sampai memasang petugas intel polisi aktif ke dalamnya. Terlepas, apakah media tersebut milik negara atau swasta penyusupan petugas intel ke dalam perusahaan media merupakan persoalan serius karena dapat mengancam keselamatan narasumber dan ketidakpercayaan public.
Hak Tolak vs Intel
Sebagai negara demokrasi Indonesia menjamin keberadaan melalui Pasal 28 UUD 45 dan Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 2 UU Pers disebutkan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kebebasan yang dimiliki pers karena mengemban tugas mencari kebenaran demi kepentingan publik untuk mengetahui suatu informasi meskipun ada resiko harus ditanggung dirinya. Untuk menyampaikan kebenaran suatu berita kepada masyarakat ada kalanya wartawan harus melindungi keselamatan narasumbernya dengan tidak menyebut nama atau identitasnya. Oleh sebab itu UU Pers, melalui Pasal 4 (4) menegaskan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum wartawan mempunyai Hak Tolak. Maksudnya, wartawan melindungi sumber informasinya dengan menolak menyebutkan identitas si narasumber, baik terhadap penyidik maupun ketika menjadi saksi di pengadilan. Selain itu Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyebutkan, Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Kerahasiaan sumber jurnalistik sangat penting sehingga jika ada pihak memaksa untuk mengungkap identitas narasumber akan berdampak buruk pada kebebasan pers. Pemaksaan tersebut dapat menghambat arus informasi yang benar dan penting kepada Pers untuk publik. Bahkan, tidak kurang dari Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pada hari kebebasan pers sedunia, tanggal 3 Mei 2022 mengingatkan, kegiatan pengawasan kepada pers dapat berdampak buruk pada kebebasan media dan mempersulit wartawan melakukan komunikasi dengan narasumber termasuk mengembangkan gagasan. Pesan Guterres menunjukan, perlindungan terhadap narasumber media massa bersifat universal, berlaku di semua negara. Bahkan negara otoriter pun, agar tidak malu, menerapkan kebebasan pers, termasuk Indonesia pada masa Orba dalam konsep Pers Pancasila dengan prinsip Bebas dan Bertanggung Jawab. Tetapi ketika ada media massa menerbitkan berita yang tidak menyenangkan penguasa langsung dibreidel karena tidak pancasilais.
Sebagai contoh peran pers, salah satunya, pengawasan di bidang korupsi dimana Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari total 180 negara versi Transparency International 2021. Ada tiga peran pers terkait korupsi, selain menjadi pengawas korupsi juga mengajak masyarakat dalam upaya antikorupsi serta mengingatkan tentang integritas. Menjadi mesin pengawas didasarkan pemahaman bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi dalam sistem cheks and balances. Ketika melakukan investigasi pemberitaan terhadap praktik korupsi ada kalanya pers harus mewawancarai narasumber yang tidak bersedia dipublikasikan identitasnya (anonim). Ini yang harus dijaga ketat oleh insan pers. Tentu, untuk menjadi narasumber anonim pers ada sejumlah ketentuan, seperti harus orang betul-betul punya kapasitas terhadap informasi yang diberikan dan dapat dibuka identitasnya jika ternyata berbohong.
Perlu Penyelidikan
Meskipun dalam satu media hanya seorang wartawan yang mewawancarai narasumber anonim tetapi redaktur dan pemimpin redaksi, wajib mengetahui apa dan siapa si narasumber. Merahasiakan narasumber anonim adalah untuk menjaga kenyamanan serta keselamatan dirinya termasuk keluarga atau pihak tertentu juga keberlanjutan informasi yang diberikan. Sebagai contoh adalah narasumber anonim, Deep Throat, yang mensuplai informasi kepada dua wartawan Washington Post, Carl Bernstein dan Bob Woodward ketika melakukan investigasi dalam memberitakan skandal Watergate di Amerika Serikat. Liputan legendaris dua wartawan Washington Post ini (difilmkan dengan judul The All Presiden Man) mampu menjungkalkan Richard Nixon dari kursi kepresidenan tahun 1974 karena terlibat dalam kasus tersebut. Pada tahun 2005 atau 30 tahun kemudian Deep Throat membuka diri, mengumumkan nama aslinya adalah William Mark Felt (meninggal 2008). Ketika skandal Watergate terjadi Felt bertugas sebagai agen khusus Biro Investigasi Federal (FBI) sehingga dinilai punya kapasitas dan layak sebagai narasumber anonim. Perlindungan sumber pers merupakan kewajiban dan hak seorang wartawan maka Carl Bernstein dan Bob Woodward termasuk Pemred, Redaktur Washington Post tidak membuka rahasia Deep Throat sampai yang bersangkutan membuka sendiri.
Begitu pentingnya menjaga kerahasiaan identitas narasumber sehingga dapat dibayangkan, bagaimana jika sebuah media disusupi intel dan bocor? Bagaimana keselamatan narasumber anonim? Masih berfungsikah bertahan dengan hak tolak? Wong sudah bocor. Wartawan intel dapat mengetahui siapa narasumber anonim karena dalam kegiatan internal media ada rapat atau diskusi rutin dilakukan anggota redaksi guna membahas pengembangan berita yang sering melibatkan wartawan lintas bidang. Dari sini kebocoran bisa terjadi kemudian wartawan intel melaporkan ke atasannya atau pihak-pihak luar redaksi. Sangat fatal.
Terbukanya penyamaran wartawan intel di TVRI yang menghebohkan dunia pers Indonesia di akhir tahun 2022 seharusnya tidak berhenti begitu saja, seakan tidak pernah terjadi sesuatu. Penyelidikan mendalam perlu dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban LPP TVRI, sekaligus melihat sejauh mana kerusakan ditimbulkan akibat praktik wartawan intel terhadap dunia pers dan publik. Koran The New York Times tahun 2002, melakukan penyelidikan sebagai pertanggungjawaban media kepada pembacanya ketika wartawannya, Jayson Blair, kedapatan melakukan kebohongan dalam tulisan-tulisannya. Insiden Blair, kemudian mengundurkan diri dari The New York Times, dinilai sebagai pengkhianatan kepercayaan yang serius terhadap jurnalisme dan publik.
Lembaga negara seharusnya juga tidak merusak pers dengan memanfaatkan institusi ini untuk kepentingan di luar kepentingan jurnalisme dengan cara-cara memasukan intelnya. Jika hal ini terus dilakukan berdampak menurunya kepercayaan publik terhadap pers. Narasumber yang memiliki informasi penting juga menjadi khawatir diwawancarai wartawan karena keselamatanya tidak terjamin. Jangan sampai suatu hari nanti pertanyaan narasumber, sampean wartawan dari Polsek mana?
Celaka!
Eddy Koko
(Wartawan, Pengajar Jurnalistik di FISIP Universitas Sriwijaya)