SUATU hari, di suatu daerah, saya terbengong-bengong melihat seorang berkalung tanda pengenal bertuliskan STOP PRESS. Info yang saya dapat, saat itu juga, yang bersangkutan adalah wartawan. Saya tidak tau pasti apakah wartawan resmi atau abal-abal seperti yang pernah disebut Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Juga lupa nama medianya. Saya duga yang dimaksud Stop Perss disini adala PERS alias wartawan aliast jurnalist.
Sepertinya banyak wartawan sekarang tidak mengalami atau melihat peristiwa Stop Press. Perkembangan zaman menjadikan media cetak kalah cepat dengan media on-line sehingga membuat banyak hal-hal masa lalu perlu dipertimbangkan untuk tetap dilakukan. Salah satunya adalah berita dalam kategori Stop Press. Wajar jika banyak orang sekarang tidak pernah lagi menemukan berita Stop Press. Boleh jadi, memang, tidak ada yang layak masuk Stop Press
Berita kategori Stop Press hadir karena dinilai sangat penting dan mendesak untuk harus dimuat. Stop Press mengacu pada penghentian mesin cetak koran yang sedang berjalan tiba-tiba dihentikan atau di stop cetaknya karena ada berita penting harus ikut diterbitkan. Masyarakat perlu tahu segera. Salah satu peran media adalah menyampaikan pesan cepat dan akurat ke masyarakat.
Kerja di redaksi koran sangat ketat dalam soal waktu. Redaksi koran harian pagi selalu membatasi naskah masuk dari redaksi pukul 22.00 ke bagian layout. Petugas layout selanjutnya menyelesaikan dalam tempo segera mengejar pukul 24.00 untuk masuk ke proses pembuatan film atau plat cetak. Kalau di harian terbit sore batas waktu juga mirip, yaitu pukul 10.00 dan kirim ke proses cetak pukul 12.00. Tentu batas waktu ini tidak sama pada setiap media. Ada juga yang lebih maju atau mundur. Koran yang punya mesin cetak sendiri dan lokasinya satu komplek dengan redaksi maka pemberlakuan deadline bisa lebih longgar. Banyak media yang redaksi dengan percetakan lumayan jauh bisa sepuluh kilo sehingga butuh waktu mengirim naskah mentah. Jangan bnadingkan dengan sekarang yang tinggal ketuk enter sampai. Dulu naskah mentah perlu dilarikan menggunakan kendaraan darat.
Koran harian yang terbit pagi dicetak dinihari dengan tujuan selesai pukul 04.00 kemudian diproses pengiriman dan sampai kepada pembaca saat mereka belum bangun. Maka ada istilah sarapan koran. Bangun pagi langsung baca koran. Saya sudah terbiasa “sarapan koran” sejak tahun 1980. Sampai sekarang masih langganan beberapa koran cetak. Bangun pagi jika koran tidak datang karena tidak terbit terkait hari besar membuat pagi kurang nyaman.
Kembali ke Stop Press. Tiba-tiba koran sedang naik cetak pukul dua dinihari atau pukul 13.00 untuk koran sore ada masuk ke redaksi berita kategori penting. Bentuknya bisa pernyataan presiden karena kondisi darurat atau presiden wafat. Bisa juga berita bencana di suatu tempat yang dinilai masyarakat perlu tau dan ingin tau segera. Maka perintah menghentikan mesin cetak yang sedang proses cetak koran harus dilakukan. Kondisi Stop Press tentu tidak membuat nyaman banyak orang di berbagai bagian koran. Misalnya, awak redaksi yang harusnya sudah pulang terpaksa tertunda karena harus menulis berita penting yang baru masuk tersebut. Bagian cetak seharusnya sudah selesai pun terpaksa duduk-duduk dulu menunggu proses redaksi, layout dan pembuatan ulang plat cetak. Walaupun berita Stop Press tidak panjang, kadang hanya tiga atau empat alinea, tetap merupakan proses merepotkan. Apalagi jika tidak menemukan berita di halaman satu yang serta merta bisa dicabut untuk diganti dengan berita Stop Press, akan semakin lebih repot.
Perdebatan mana berita harus ditiadakan juga memakan wakt. Semua berita di halaman satu pasti pilihan karena dinilai penting. Tetapi satu yang membuat awak koran baik wartawan, redaksi, layout dan cetak merasa bangga adalah mampu menampilkan berita Stop Press. Apalagi kalau media kompetitor tidak menampilkan Stop Press atau berita ketegori penting itu pada penerbitan yang sama hari itu maka hal tersebut mampu membayar rasa lelah akibat “dikerjain” Stop Press.
Stop Press dapat dikatakan kolom berita “sakral”. Tidak semua berita penting dinihari layak dijadikan berita Stop Press sehingga Stop Press menjadi begitu diperhitungkan. Untuk melakukan Stop Pres juga tidak asal naik tetapi melalui perdebatan cepat dan tepat dari tingkat pemimpin redaksi, redaktur dan wartawannya sampai ke ruang cetak bahkan distribusi. Jangan sampai redaksi ngotot melakukan Stop Press tetapi mengganggu jadwal distribusi koran itu sendiri. Jika koran telat didistribusikan atau kesiangan sampai agen berakibat tidak dibaca masyarakat maka kerugian yang didapat. Pendeknya, Stop Press itu mahal.
Berita Stop Press cukup pendek saja. Fungsinya sebagai kabar awal sebuah peristiwa penting. Ada “cap” Stop Press pada berita Stop Press. Berita lebih lanjut menyusul pada terbitan edisi esoknya. Dahulu masyarakat hanya mengenal media massa koran dan radio . Televisi masih menjadi barang mahal. Dengan kondisi itu maka media cetak begitu ditunggu kehadirannya. Sekarang, sudah capek dan mahal melakukan Stop Press, bahkan belum selesai proses cetaknya, masyarakat sudah lebih dulu tahu melalui media sosial. Media sosial memang tidak pernah tidur. Stop Press bekerja saat warga tidur.
Begitulah Stop Press!