TANGGAL 13 Mei 1998 merupakan hari kelam bagi bangsa Indonesia. Kerusuhan terjadi hari itu, menyusul penembakan terhadap mahasiswwa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Saya ada di dalam arena kerusuhan Universitas Trisakti, saat itu, sehingga terekam dalam ingatan saya.
Sebagai wartawan yang bekerja di Harian Jayakarta (Grup Suara Pembaruan) saya memang mendapat tugas sehari-hari di wilayah Jakarta Barat. Semua peristiwa di wilayah Jakarta Barat dari kriminal, pengadilan, ekonomi dan berbagai peristiwa lainnya di di wilayah barat Jakarta menjadi tanggung jawab saya dalam pemberitaan untuk Koran Jayakarta. Saya ditempatkan di desk kota, setelah sebelumnya emat tahun ditugaskan menjadi fotografer dan setahun pada desk mingguan menangani rubrik hiburan. Sehari-hari saya keluar rumah pagi, berangkat menjelajah wilayah Jakarta Barat sampai sore, kadang malam, sesuai kebutuhan mencari materi berita, baru sore hari atau malam ke redaksi Jayakarta di Cawang, Jakarta Timur. Usai deadline naskah berita baru pulang. Larut malam kadang.
Tanggal 12 Mei 1998, seperti biasa saya berangkat menuju wilayah di Jakarta Barat. Melintas Gedung DPR di Senayan yang sudah berminggu penuh mahasiswa dan mahasiswi melakukan demosntrasi terhadap keputusan pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sesekali, pada hari lain, saya melongok suasana Gedung DPR yang makin hari makin panas, karena jumlah mahasiswa yang terus bertambah. Tiga tahun saya pernah mendapat tugas di DPR sehingga sangat hapal setiap sudut gedung wakil rakyat ini. Hari itu saya tidak mampir senayan karena sudah ada rekan yang bertanggungjawab memantau situasi di Gedung DPR. Saya pun langsung ke berbagai wilayah di Jakarta Barat.
Siang menjelang sore, saya menuju Grogol, Jakarta Barat masih wilayah “jajahan” saya. Saya berhenti di depan bekas Kantor Walikota Jakarta Barat karena menyaksikan mahasiswa Universitas Trisakti melakukan orasi. Saya berhenti di lokasi ini karena ingin tahu, mengapa para mahasiswa tidak ke Gedung DPR, Senayan? Mengapa orasi di tengah jalan, Jl. S Parman? Sambil cari tahu saya mengamati dan mendengarkan mahasiswa orasi di atas meja. Di sepanjang jalan ini ada Kampus Universitas Trisakti, Universitas Tarumanegara, bekas Kantor Walikota, kantor Kejaksaan, Kodim dan agak jauh dari lokasi orasi ada Kantor Polres Jakarta Barat.
Saya dapat info, ternyata para mahasiswa dilarang aparat menuju Senayan. Silakan adik-adik orasi di sini saja, kata petugas. Yang saya ingat ada Kapolres Jakarta Pusat, Letkol. Timur Pradopo, yang kemudian sempat menjadi Kapolri. Ada tentara juga. Ada pasukan bermotor. Suasana orasi berjalan lancar dan damai. Saya berdiri di trotoar sejajar dengan meja yang dipakai mahasiswa menjadi panggung orasi. Masih ingat sebelah saya berdiri Kasat Intel Jakarta Barat mengenakan T-shirt tapi saya sudah lupa namanya. Kami kenal karena saya juga harus selalu cari info di Polres Jakarta Barat sehari-hari. Yang masih saya ingat, Kasat Serse Jakarta Barat, Mayor Roni Sompie belum lama diganti, saat itu, tetapi lupa nama penggantinya. Roni kemudian sempat menjadi Dirjen Imigrasi era Presiden Jokowi.
Hari sudah semakin sore, matahari mulai condong mengarah tenggelam. Ada himbauan dari aparat keamanan kepada mahasiswa untuk selesai berorasi. “Adik-adik mahasiswa kita sudahi dulu kegiatan orasi. Kembali ke kampus,” begitu bunyi toa dari aparat.
Himbauan aparat keamanan ini disambut sepakat oleh mahasiswa. Menarik suasananya, para mahasiswa dan aparat keamanan saling bersalaman, berpelukan. Saya yang sudah biasa meliput demonstrasi agak surprise melihat peristiwa tersebut. Sebab, biasanya, boro-boro salaman apalagi berpelukan, yang ada bubar karena saling lempar batu.
Usai bersalaman dan pelukan para mahasiwa balik kanan menuju Kampus Trisakti yang lokasinya berada, saya duga tidak lebih 50 meter dari lokasi orasi. Saya pun siap pulang ke redaksi di Cawang. Demo lancar. Tidak ada yang beda dengan hari sebelumnya. Berita biasa saja. Tapi saya urung balik kanan karena tiba-tiba mahasiswa balik kanan berteriak, kami bubar kalian juga bubar dong. Seraya menunjuk petugas kemanan yang, memang, belum bergerak dari posisinya. Karena petugas tidak merespon permintaan mahasiswa yang menginginkan petugas keamanan juga mundur, tiba-tiba serentak mahasiswa balik kanan mendekati petugas keamanan seraya berteriak, bubar hoi, bubar! Tiba-tiba dari kubu petgas terdengar komando, serbu! Disusul pergerakan pasukan bermotor maju. Suasana kacau balau. Keos!
Saya terus mengamati suasana yang begitu cepat berubah. Tidak menduga. Suasana tidak terkendali. Timur Pradopo, dalam penglihatan saya (seperti) tampak bingung, berdiri di tengah jalan melihat petugas menyerbu mahasiswa. Mahasiswa berlarian masuk kampus. Yang tidak sempat masuk gerbang kampus melarikan diri ke belakang bekas Kantor Walikota Jakarta Barat. Sejenak suasana mereda tetapi sangat tidak pasti dan panas. Saya menuju belakang bekas Kantor Walikota Jakarta Barat, melihat situasi. Saya hapal sudut kantor ini karena sehari-hari juga berada di sini. Aparat mengejar mahasiswa yang sebagian sembunyi di sekitar belakang kantor.
Saya kembali ke depan Kantor Walikota Jakarta Barat. Ada beberapa juru kamera asing di lokasi. Satu di antaranya mengenakan celana pendek putih dan kaus putih merekam gambar dari jembatan penyeberangan orang di depan Universitas Tarumanegara. Polisi muda memegang pentungan meneriaki juru kamera tersebut untuk berhenti merekam dan turun. Dengan patuh sang juru kamera turun.
Sesampai di bawah, turun dari jembatan penyebrangan, si juru kamera langsung digebukin petugas. Diinjak sampai masuk selokan. Yang luar biasa sang juru kamera tidak menutup kepala dari pentungan tetapi terus mendekap kameranya dalam selokan. Sebagai wartawan foto yang pernah mengalami situasi semacam itu saat pesawat hercules jatuh di Condet, jakarta Timur 5 Oktober 1992, saya satu-satunya wartawan yang berhasil masuk dalam lokasi jatuhnya pesawat, kemudian ketahuan petugas dan diseret sana sini yang terpikirkan hanya bagaimana film hasil rekaman kecelakaan tidak berhasil disita. Saya memasukan dalam celana dalam, saya ganti film baru di kamera dan itu yang disita petugas. Foto peristiwa tersebut dimuat halaman 1 Suara Pembaruan tanggal 6 Oktober 1992. Saya bisa memahami juru kamera yang mempertahankan “keselamatan” kamera dan isinya. Ukuran kamera video era dulu besar dan beratnya mencapai 12 kg.
Melihat juru kamera digebukin aparat sampai masuk selokan diinjak, saya merasa miris. Membayangkan itu bisa terjadi paa saya. Seketika saya bilang kepada Kasat Intel di sebelah saya, tolong dong stop. Itu wartawan. Tugas dia meliput. Atas perintah kasat intel tersebut kekerasan dihentikan.
Saya pulang ke redaksi sore itu untuk menuliskan laporan peristiwa demo mahasiswa Universitas Trisakti. Saya laporkan lisan peristiwa di Trisakti kepada rapat redaksi dan tentu perintah, tuliskan. Juga serangan brutal aparat kepada juru kamera asing saya tulis juga.
Tanggal 13 Mei 1998, karena berita kematian sejumlah mahasiswa Trisakti pada demo kemarin sore sudah menyebar malam harinya maka suasana mulai mencekam. Beberapa hari sebelumnya, saya hadir meliput diskusi di Kampus UI dengan pembicara antara lain, seingat saya, ada Prof. Emil Salim.
Diskusi membahas seputar demonstrasi makin meluas dan besar dilakukan mahasiswa. Saya ingat DR. Hermawan Sulistyo bicara, demo tidak efektif jika dari kalian mahasiswa tidak ada yang mati. Kalau petani mati dalam demo tidak menjadi perhatian tetapi satu mahasiswa mati akan menjadi martir, dapat merubah situasi. Pertanyaannya, siapa dari kalian yang siap mati? Yang hadir dalam diskusi tertawa. Menganggap Kiki, begitu panggilan akrab Hermawan Sulistyo sedang bercanda. Ucapan Kiki menjadi kenyataan. Kemudian Prof. Hermawan Sulistyo menuliskan kisah awal sampai akhir demo Mei 1998 dalam bukunya berjudul, Lawan!
Pagi itu karena suasana makin panas atas berita meninggalnya mahasiswa Trisakti akibat tembakan kemarin sore, saya berangkat pagi langsung ke Kampus Trisakti. Suasana sudah ramai. Banyak wartawan dalam dan luar negeri terlihat. Masyarakat ikut menonton dari kejauhan suasana di Kampus Trisakti. Mereka bergerombol di sekitar Teminal Bus Grogol, sebelah Mal Ciputra dan lainnya.
Suasana memanas sekitar pukul 12.00 diawali dengan adanya ban dibakar di dekat terminal Grogol. Selanjutnya makin tidak karuan. Kacau balau. Sepertinya terjadi serentak. Sebab banyak orang kemudian melintas di JL. S. Parman pulang kantor lebih awal. Sore saya pulang duluan ke redaksi untuk menulis berita, setelah berkoordinasi dengan beberapa teman dari Koran Jayakarta yang juga meliput di Trisakti. Antara lain Ketty Saukoly, sehari-hari meliput di Istana Negara, hari itu memperkuat liputan di Trisakti dan dia ada di dalam kampus. Karena saya tidak membawa kendaraan, tidak ada bis kota lagi yang beroperasi, semua tiba-tiba stop, maka saya menumpang seorang pengendara sepeda motor yang mengarah ke Jakarta Timur.
Saat di perjalanan saya bertanya, dari mana dan mengapa sudah pulang. Rupanya dia bekerja di sekitar Kalideres (seingat saya) dan kerusuhan sudah terjadi disana beberapa jam lalu. Semua karyawan diperintah pulang segera. Diceritakan sepanjang jalan sudah mencekam. Dia mau behenti saya stop karena melihat kartu pers yang ada di badan saya.
Melintas di Pancoran, Jakarta Selatan suasana ternyata sudah sama dengan yang diceritakan pemotor. Banyak orang di pinggir jalan menghentikan kendaraan. Mereka main ambil barang milik pengendara baik mobil maupun sepeda motor. Tidak ada yang berani melawan. Massa tampak beringas. Ada pengendara motor di stop di depan Kantor Kanwil Penerangan DKI Jakarta, langsung diambil kacamatanya dan dipakai. Mungkin karena kacamata minus dan tebal terasa pusing dipakainya langsung dikantongi tapi tidak dikembalikan. Saya tidak tau pemilik kacamata bisa lihat jalan atau tidak tanpa kacamatanya. Sepeda motor saya juga distop, tapi saya langsung bilang, saya anak Cawang dan menjelaskan mau ke pulang ke Jalan Arus. Selamat. Saya melintas di depan toko mebel di sudut Cawang, dekat turunan, tidak jauh dari lokasi pengrajin Kompor Cawang diserbu banyak orang. Dijarah.
Saya diturunkan di Kantor Koran Suara Pembaruan seraya berterima kasih mendapat tumpangan. Pemotor juga mengucapkan terima kasih tanpa saya bilang anak Cawang bisa jadi motornya hilang. Tapi dulu belum semua orang punya handphone sehingga kami tidak kontak apakah dia lancar sampai rumah?
Begitulah sekelumit kenangan saya pada tanggal kerusuhan Mei 1998. Semoga hari kelam tidak terjadi lagi di negeri yang kita cintai ini.
Salam, untuk Indonesia yang lebih baik!
Pamulang, 13 Mei 2022
Eddy Koko