LAMPUNG – Merebut medali Olimpiade itu tidak mudah. Karenanya, meraih perunggu pun sudahlah luar biasa untuk kebanyakan atlet. Seperti itu pula yang terjadi dengan atlet angkat besi Sri Wahyuni dari Jawa Barat dan Eko Yuli Irawan, lifter asli Metro, Lampung.
Seluruh rakyat Indonesia bangga dengan prestasi mereka merebut medali perak di Olimpiade 2016 Rio de Janeiro. Khusus Eko, medali tersebut menjadi prestasi kali ketiga di pesta olahraga paling bergengsi di dunia itu, Olimpiade. Sebelum itu, bersama rekan sekampung dari Bedeng Patlikur (24) Metro Lampung, Triyatno, dia juga mempersembahkan perunggu pada Olimpiade 2008 Beijing.
Sementara pada Olimpiade 2012 London, Triyatno meraih perak, sedangkan Eko hanya menyumbangkan perunggu. Kini Eko bersama Sri menjadi perhatian dengan menuai medali perak Rio de Janiero 2016. Tak pelak, mereka pun jadi bahan perbincangan di media sampai warung kopi Indonesia. Bonus miliaran pun di depan mata. Lantas, bagaimana Eko, juga Triyatno, bisa mendunia?
Tentu, keberhasilan mereka tidak lepas dari peran pelatih awal mereka, Yon Haryono. Sebab sebelum menjelajah ke pemusatan pelatihan nasional (pelatnas) dan tampil di ajang-ajang internasional, Eko dan Triyatno memang belajar teknik angkat besi yang baik dan benar dari Yon di sasana yang dibangunnya. Apalagi, sebelum mendirikan sasana, pria asal Pringsewu, Lampung, itu pernah menjadi atlet nasional angkat besi.
Setelah menamatkan sekolah dasar di Pringsewu, Yon yang sudah menjadi atlet yunior dari Padepokan Angkat Besi Gajah Lampung asuhan pelatih Imron Rosyadi itu mendapat beasiswa di SMP dan SMA Ragunan, Jakarta. Sebagai atlet nasional, Yon juga mengikuti pertandingan di berbagai kejuaraan angkat besi tingkat nasional dan internasional.
Dia pulang ke Pringsewu karena tidak lagi menjadi atlet nasional. Kemudian Yon memutuskan pindah ke Kota Metro pada 2000 dan membuka usaha penggilingan padi di Desa Batanghari, Lampung Timur, sekitar 7 km dari Kota Metro. Meskipun sudah tidak lagi menjadi atlet, Yon tidak pernah meninggalkan dunia angkat besi. Sambil menjalankan usaha penggilingan padi, Yon tetap berlatih mengangkat barbel di rumahnya, kawasan Ganjaragung Metro.
Beruntungnya, Yon juga kenal dengan Supriyadi yang tinggal di Bedeng Patlikur, yang sekarang menjadi Desa Teja Agung, tidak jauh dari lokasi penggilingan padi. Dosen Universitas Lampung (Unila) itu bersimpati terhadap kecintaan Yon akan angkat besi, sehingga meminjamkan sebidang tanahnya di seberang rumahnya.
“Dari tabungan hasil usaha penggilingan padi, saya beli rumah tua yang sudah mau roboh di Teja Agung juga. Bersama tetangga, kerangka rumah tua itu kami gotong beramai-ramai, dipindahkan ke tanah milik Pak Supriyadi. Jadilah sasana angkat besi,” kenang Yon.
Kegiatan Yon setiap hari berlatih mengangkat barbel di sela usaha penggilingan padinya di Kampung Tejo Agung, Metro, Lampung. Aktivitas itu rupanya menarik perhatian anak-anak setempat.
Seusai menggembala kambing dan membantu orang tua di sawah dan kegiatan lainnya di kampung, anak-anak ramai menonton Yon berlatih. Maklum, meskipun Metro merupakan salah satu kota lama yang dibangun Belanda melalui program kolonisasi (transmigrasi), kehidupan sehari-hari masyarakatnya belum banyak berubah.
Tidaklah mudah berebut medali di Olimpiade maka mendapat medali perunggu sudahlah luar biasa untuk kebanyakan atlet. Tidak heran jika kemudian puja-puji dan ucapan selamat bertubi ditujukan kepada sang atlet peraih medali Olimpiade. Seperti yang terjadi beberapa hari ini kepada atlet angkat besi Sri Wahyuni dari Jawa Barat dan Eko Yuli Irawan yang aslinya dari Metro Lampung tetapi bernaung di bawah Persatuan Angkat Besi dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Kalimantan Timur. Kita semua layak bangga dengan dengan para atlet yang sudah mengangkat nama Indonesia di dunia.
Prestasi Eko Yuli Irawan mendapatkan medali merupakan kali ketiga di ajang pesta olahraga paling bergengsi dunia, yaitu Olimpiade. Bersama rekan sekampungnya dari Bedeng Patlikur, Metro Lampung, Triyatno dalam Olimpiade Beijing 2008 mereka mempersembahkan medali perunggu.
Pada Olimpiade London 2012 Triyatno meraih medali perak sedangkan Eko hanya mendapatkan perunggu. Kali ini Eko bersama Sri Wahyuni mendulang perak di Olimpiade Rio de Jeneiro 2016 sedangkan Triyatno gagal meraih medali. Atas kesuksesannya tersebut maka Eko dan Sri pun menjadi bahan perbincangan di media sampai warung kopi Indonesia. Bonus milyaran rupiah pun bakal diterima mereka.
Menarik menyimak perjalanan karier Eko dan Triyatno, dua orang atlet angkat besi nasional Indonesia. Tentu, prestasinya bukan hanya di olimpiade saja tetapi juga pertandingan nasional dan internasional lainnya. Keberhasilan mereka tidak lepas dari tekad ingin sukses dan binaan pelatih awal mereka, yaitu Yon Haryono. Yon juga pernah menjadi atlet nasional angkat besi Indonesia asal Kota Pringsewu Lampung, sekitar seratus kilometer dari Kota Metro Lampung.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Pringsewu selanjutnya Yon, yang sudah menjadi atlet yunior dari Padepokan Angkat Besi Gajah Lampung asuhan atlet nasional Imron Rosyadi, mendapat bea siswa di SMP dan SMA Ragunan, Jakarta Selatan. Sebagai atlet nasional Yon juga mengikuti pertandingan di berbagai kejuaraan angkat besi tingkat nasional dan internasional. Yon pulang ke Pringsewu karena tidak lagi menjadi atlet nasional.
Yon memutuskan pindah ke Kota Metro tahun 2000, membuka usaha penggilingan padi di desa Batanghari, sekitar tujuh kilometer dari Kota Metro. Batanghari dikenal dengan kawasan persawahan. Hamparan sawah terlihat sepanjang kanan dan kiri jalan yang ada di Batanghari. Dahulu Batanghari satu kabupaten dengan Metro, yaitu Lampung Tengah tetapi sekarang Batanghari masuk Lampung Timur.
Meskipun sudah tidak menjadi atlet Yon tidak pernah meninggalkan dunia angkat besi. Sambil melakukan usaha penggilingan padi, Yon tetap latihan mengangkat barbel di rumahnya, kawasan Ganjaragung Metro. Tetapi kegiatan Yon mendapat tentangan para tetangga dengan alasan berisik bunyi barbel yang dibanting.
Beruntung Yon kenal dengan Supriyadi yang tinggal di Bedeng Patlikur, sekarang mejadi Desa Teja Agung, tidak jauh dari lokasi penggilingan padinya. Supriyadi, sehari-hari kerja sebagai Dosen Universitas Lampung (Unila) memahami kecintaan Yon kepada angkat besi bersimpati kemudian meminjamkan sebidang tanah di seberang rumahnya.
Kegiatan Yon setiap hari latihan mengangkat barbel, di sela usaha penggilingan padi, di kampung Tejo Agung, Metro Lampung rupanya menarik perhatian anak-anak setempat. Usai menggembala kambing, membantu orang tua di sawah dan kegiatan lainnya di kampung anak-anak ramai menonton Yon latihan.
Maklum meskipun Metro merupakan salah satu kota lama yang dibangun Belanda melalui program kolonisasi (transmigrasi) tetapi kehidupan sehari-hari masyarakatnya belum h banyak berubah. Tontonan atau hiburan tidak seperti kota besar yang selalu ada setiap saat sehingga Yon latihan menjadi hiburan anak-anak, bahkan juga orang tua di sekitarnya.
Mengamati sejumlah anak yang tidak pernah absen menonton latihan, antara lain Triyatno dan Eko yang kelak menjadi atlet nasional membuat Yon tergerak menawari para bocah latihan angkat besi. “Awalnya,sekitar tahun 2000-an, saya berceritera ke anak-anak yang rajin menonton saya latihan, termasuk kepada Triyatno dan Eko kalau jadi atlet berprestasi bisa jalan-jalan ke luar negeri. Nggak cuma gembala kambing. Ternyata banyak yang tertarik jadi atlet seperti saya. Maka saya datang ke orang tua mereka minta izin, apakah boleh anaknya latihan angkat besi untuk jadi atlet? Para orang tua ternyata tidak keberatan, asal mereka tetap membantu orang tua angon kambing atau kerja di sawah, kebun dan lainnya. Sejak itu saya melatih bocah-bocah kampung Tejosari dan Tejoagung secara serius dan professional,” cerita Yon.
Kisah sukses anak asuh Yon menjadi atlet internasional sontak membuat para bocah lainnya di kampung tempat Triyatno dan Eko tinggal menjadi tertarik ikut latihan angkat besi di padepokan Yon. Mimpinya ingin seperti Triyatno dan Eko Yuli Irawan bisa keluar negeri dan dapat uang (bonus) ratusan juta bahkan milyaran rupiah.
Pemandangan kehidupan keluarga Triyatno dan Eko yang kemudian memiliki sawah luas, rumah gedong (bagus), kedua orang tuanya naik haji dan, pendeknya, berubah total dari petani biasa menjadi tuan tani membuat Yon kebanjiran murid. Sayangnya, Yon tidak berduit. Kehidupan padepokan pun terseok-seok. Tetapi semangat Yon dan anak asuhnya tidak menjadi kendor. Barbel peot dan sepatu hanya sepasang untuk dipakai bersama-sama tidak membuat latihan terhambat.
Menurut Supriyadi, sosok Yon adalah manusia yang sangat mencintai profesinya. Cinta Yon pada angkat besi melampaui cinta pada dirinya.
“Setiap ngobrol pasti tidak luput membincangkan angkat besi. Hidupnya seolah tidak bisa jauh dari barbel. Ke mana pun mas Yon pindah barbel selalu ada bersamanya. Demikian juga perhatiannya pada pelanjutnya (kaderisasi). Di mana dia berada tawarannya sama, siapa yang berminat ikut angkat besi silakan datang ke rumah. Pintu rumah Yon selalu terbuka, seterbuka hatinya pada angkat besi. Beliau rela meninggalkan keluarga nun jauh demi cintanya pada angkat besi, melewati batas samudera ke negeri Jiran. Tetapi cintanya pada angkat besi bertepuk sebelah tangan,” komentar Supriyadi yang rumahnya tidak jauh dari kediaman rumah orang tua Triyatno dan Eko Yuli Irawan.
Pelatih dan Atlet
Komentar yang diungkapkan Supriyadi sejatinya cukup dalam untuk diartikan. Sebab ia menjadi saksi perjalanan kegigihan Yon membentuk para atlet Triyatno dan Eko Yuli Irawan yang tidak lain adalah tetangganya. Setelah menjadi atlet kemudian Eko dan Tri meninggalkan Metro Lampung ‘mengabdi’ kepada induk olahraga angkat besi di Kalimantan Timur (Kaltim).
Tentu hal ini menimbulkan rasa kurang respek sejumlah warga kepada Tri dan Eko. Meskipun demikian publik tetap menyebut Tri dan Eko sebagai atlet asal Lampung, termasuk Ketua MPR Zulkifli Hasan melalui akun tweeternya. ‘Selamat putra Lampung, Eko Yuli yang raih medali perak kedua (Olimpiade)’,” begitu bunyi tweet @ZUL_Hasan yang juga Putra Lampung dari Kalianda.
Meskipun Tri dan Eko tidak lagi bersama Yon Haryono di Lampung tetapi Yon tidak patah semangat, terus membina bibit-bibit baru. Kondisi ‘kandang kambing’ tempat latihan angkat besi Yon yang mengenaskan tetapi mampu menciptakan atlet kaliber terdengar sampai ke telinga Andy Noya.
Andi yang dikenal publik lewat acara Kick Andy menyempatkan diri datang ke Kandang Kambing dan tampak tidak percaya dengan padepokan Yon Haryono di Metro. Melalui lobinya, Andy berhasil mengajak pengusaha dari Jakarta memberi bantuan sepatu dan bangunan baru utuk padepokan. Apakah Eko dan Tri ikut membantu kehidupan padepokan tempat mereka ‘dilahirkan’ sebagai atlet? ‘Saya enggan membahas hal tersebut. Silakan tanya langsung ke mereka. Lebih afdol mereka yang berceritera,” jawab Yon Haryono penuh tanda tanya bagi mereka yang mendengar.
Konon, Yon Haryono memang lepas kontak dengan Eko dan Tri. Ada harapan Yon kepada Tri dan Eko ikut membantu padepokannya untuk kelangsungan pembinaan bibit baru dari kampungnya. Namun harapan tersebut belum kesampaian dan Yon sekarang sudah berada di Malaysia melatih atlet Malaysia untuk kontrak selama empat tahun. Alasan Yon menerima tawaran Malaysia karena butuh beaya hidup dan beaya sekolah anak-anaknya.
“Sebetulnya berat meninggalkan Metro, meninggalkan Indonesia. Tapi saya harus realistis bahwa kehidupan keluarga dan beaya sekolah anak-ananku tidak murah. Menjadi pelatih sifatnya sukarela karena tidak dibayar. Jadi memang tidak ada pemasukan. Lama saya merenung. Akhirnya saya terima tawaran pemerintah Malaysia. Semoga tidak lama,” kata Yon Haryono.
Bagaimana dengan usaha penggilingan padi Yon Haryono? Ternyata sudah lama tutup. Karena sepi order. Bisa jadi tangan Yon Haryono bukan pengusaha tetapi lebih cocok untuk urusan angkat besi sehingga gagal berbisnis jasa penggilingan padi. Kasus semacam ini banyak terjadi pada atlet dan seniman di Indonesia, hidupnya pas-pasan bahkan layak disebut kekurangan. Ada yang menjadi buruh, tukang parkir, petugas keamanan dan sebagainya meskipun dari mereka pernah mengharumkan nama Indonesia. Begitulah.
Eddy Koko (Wartawan Senior)