MAHASISWI kelas Broadcasting di Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan,Lara Hati, melempar pertanyaan, dahulu bagaimana pendengar radio minta kepada stasiun radio untuk diputar lagu kesayangannya? Sekarang tinggal tulis di smartphone, melalui pesan Whatsapp (WA) dalam hitungan detik sudah dibaca penyiar di studio dan lagu permintaan pun mengalun. Saya sejenak tercenung dengan pertanyaan tersebut. Ingatan kembali ke tahun 70an ketika berusaha komunikasi dengan penyiar Radio Australia, seperti Ebet Kadarusman, Nuim Khayat, dan lainnya. Butuh waktu berminggu bahkan bisa berbulan surat pendengar baru dibaca penyiar. Teman di kelas penyiaran itu pun tertawa mendengar cerita saya.
Tahun tujuh puluhan radio menjadi primadona karena merupakan perangkat komunikasi hiburan yang utama. Televisi sudah ada dalam warna hitam putih tetapi belum banyak yang memiliki. Saya tinggal di kota kecil Metro Lampung hanya beberapa rumah yang sudah memiliki pesawat televisi ditandai dengan tiang antena televisi tinggi. Masyarakat mengenal dan menikmati lagu dari radio siaran, terutama Radio Republik Indonesia (RRI) yang tanggal 11 September tahun ini berusia 76 tahun.
Masyarakat mengenal lagu baru dari grup band Koes Plus, The Mercy’s, Favourits Grup, The Bee Gees, The Beatles dan sebagainya melalui radio siaran. Ada yang memiliki turntable dengan piringan hitamnya tetapi juga tidak banyak. Piringan hitam selain susah didapat juga mahal. Tahun itu sudah muncul pita kaset berisi rekaman lagu-lagu yg sama dengan piringan hitam tetapi juga masih langka. Sepuluh tahun kemudian kaset dengan tape recordernya merajalela. Lantas bagaimana orang jika ingin mendengar lagu kesukaannya sementara tidak punya turntable atau tape recorder? Caranya minta lagu kepada stasiun radio siaran untuk diputarkan lagu kesayanganya.
Cara paling umum minta diputarkan lagu ke studio radio adalah melalui kantor pos menggunakan kartu pos. Tulis judul lagu permintaan berikut pesan kepada teman atau keluarga dimana pun berada di atas kartu pos, setelah ditempel prangko (kalau tidak salah Rp. 1,-) kemudian masukan ke dalam bis surat di Kantor Pos. Jika minta diputarkan lagu Kembali Ke Jakarta dari Koes Plus, misalnya, bisa kirim ke Studio RRI di Jl. Medan Merdeka Barat No.4-5, Jakarta Pusat. Atau ingin lagu dari Bee Gees, Beatles dan lainnya bisa ke Radio Australia di Melbourne.
Setelah sepekan kartu pos dikirim melalui kantor pos maka duduklah di samping pesawat radio. Menunggu berharap penyiar RRI, Sazli Rais, lewat acara Musik Pelepas Lelah (MPL) membacakan kartupos kita. Itu harapan. Pastinya tidak jelas. Bisa seminggu kemudian, dua minggu, sebulan atau tidak pernah dibacakan karena kartu pos tidak sampai. Koq bisa? Ya bisa saja karena kartu pos atau surat permintaan lagu dari pendengar jumlahnya ribuan. Bisa kartu pos bertumpuk ambil acak atau nyasar ke Yogyakarta atau lebih jauh lagi, Irian Jaya. Alias tidak sampai. Duduk sampai kiamat kiriman kartu pos kita tidak dibaca.
Muncul Radio Amatir
Awal dekade tujuh puluhan sudah muncul sejumlah stasiun radio amatir. Belum berizin. Pemiliknya tentu orang punya uang banyak karena membangun stasiun radio tidak murah. Tapi namanya hobi nilai uang bukan perkara yang perlu diperhitungkan. Banyak radio amatir kemudian membuka acara permintaan lagu dari pendengar. Caranya, studio menerbitkan blangko, mirip karcis parkir, dijual seharga Rp. 5,- Pada blangko tersebut ditulis permintan lagu dari siapa untuk siapa disertai bunyi ucapan.
Ucapan salam kompak selalu sangat trend sekali waktu itu. Banyak pendengar berkirim lagu kepada para sahabat dan family dengan ucapan, salam kompak selalu. Tentu ada ucapan dengan kalimat lain tetapi salam kompak selalu paling banyak dipakai. Misal, lagu Walang Kekek ini dikirim oleh Jokowi di Surakarta untuk Prabowo Jakarta dengan ucapan salam kompak selalu.Setelah ucapan tersebut mengalunlah lagu pilihan pendengar. Maka banyak stasiun menyebut acara semacam ini dengan nama Acara Pilihan Pendengar.
Repot sekali ya? Apakah tidak bisa pakai pesawat telpon? Jangan membayangkan alat komunikasi seperti sekarang. Studio radio tidak semua punya telpon begitu juga rumah warga. Pergi ke studio di dalam kota untuk beli blangko, sebaliknya mengantar blangko yang sudah diisi permintaan lagu dan ucapan tadi, naik sepeda atau jalan kaki. Itu semua demi untuk mendengarkan lagu kesayangan.
Lagu Lama Sekarang
Bagaimana dengan lagu lama apakah sekarang masih ada yang diputar lagi? Masih banyak lagu-lagu lama pada masa itu populer kemudian hari zaman digital diputar kembali. Orang sekarang menyebutnya sebagai rekaman lagu daur ulang. Beberapa tahun lalu Yuni Shara mempopulerkan lagu-lagu lama yang aransemennya serta komposisi instrumen musiknya diperbarui. Banyak orang yang lahir setelah lagu tersebut populer masa itu menyukai tetapi tidak tahu bahwa itu lagu lama. Dari hal ini membuktikan bahwa lagu tidak lekang oleh waktu dan tidak hilang dimakan zaman.
Tidak bisa dipungkiri peran RRI dalam memberikan hiburan kepada rakyat masa itu sangat penting. Bukan hanya permintaan lagu yang dinanti masyarakat dari siaran RRI tetapi banyak acara lainnya. Ada warta berita ada lomba pemilihan bintang radio mirip Indonesia Idol di RCTI, kuliah subuh dari Buya HAMKA, misalnya, dan banyak lainnya. Bintang Radio menjadi ukuran bahwa artis yang lolos sebagai juara akan menjadi penyanyi terkenal. Contohnya Titik Puspa, Emilia Contesa, dan banyak lainnya.
Sekarang berkirim ucapan dari sahabat untuk sahabat masih ada di radio-radio tetapi pendengar tidak perlu menunggu berminggu atau berbulan untuk lagu permintaannya diputar. Kirim ucapan dan permintaan lagu ke studio dalam hitungan menit kemudian langsung terdengar lagu yang pendengar inginkan. Mau minta berapa lagu pun tidak perlu bayar. Gratis zonder bayar.
Demikianlah kisah radio masa lalu. Sekali di udara tetap gembira. Selamat Ulang Tahun RRI.
Eddy Koko (Penikmat Musik Masa Lalu)