BAGAIMANA perkembangan dunia musik jazz Indonesia dan sebagian pemainnya tanpa Ireng Maulana?
Boleh jadi, pertanyaan tersebut memunculkan kesan memuji berlebihan. Namun sebagian orang, baik musisi jazz maupun penggemar musik jazz di Indonesia sepakat bahwa Ireng Maulana punya peran besar dalam perkembangan musik jazz di negeri ini. Menyimak sepak terjangnya dalam jazz, Ireng Maulana adalah penggagas Jakarta Jazz Festival atau yang dikenal dengan JakJazz Festival .
Dia juga menggagas sejumlah pertunjukan jazz di kafekafe di Jakarta dan banyak kegiatan jazz lainnya. Sang penggagas itu, Sabtu malam (5/3), dipanggil Tuhan. Sabtu sore, seperti biasa, jadwalnya Ireng Maulana main di Pondok Indah Mal (PIM), Jakarta Selatan, bersama Cendy Luntungan dan musisi lainnya. Sudah lama Ireng main di sini. Pengunjung PIM sudah hafal. Ireng bermain bersama anak muda. Usai dari PIM, Ireng bergegas menuju Restoran Thartine di FX Mal, bilangan Senayan, Jakarta Selatan.
“Ini hari pertama kami main di Thartine. Jam sepuluh Mas Ireng datang langsung main. Tiba-tiba dia bilang badannya tidak enak, sesak napas, bersama Rudy Subekti diantar ke Rumah Sakit Harapan Kita. Sampai sana, dia wafat,” cerita Sam Punuwon, pianis senior yang malam itu main bersama Ireng Maulana. Jadi, sampai beberapa menit menjelang wafat, Ireng masih bergulat dengan musik jazz. Masih main jazz. Ireng juga wafat saat Jakarta sedang ada festival jazz internasional, Java Jazz Festival .
Tidak berlebihan jika mengibaratkan, Ireng Maulana wafat dalam guyuran musik jazz, musik yang dia gemari, cintai, tekuni, dan perjuangkan keberadaannya di Indonesia. Ireng Maulana layak disebut sebagai musisi sejati. Ireng Maulana terlahir dengan nama Eugene Lodewijk Willem Maulana, 15 Juni 1944 di Jakarta. Dalam dunia jazz, terkadang seorang musisi akan diperhitungkan ketika awal karier atau mudanya pernah bermain dengan sang legenda dan tampil di berbagai festival internasional.
Dalam sejarahnya, Ireng muda pernah bermain dengan seniman serbabisa, Bing Slamet dan pianis Mus Mualim, serta tampil di North Sea Jazz Festival , Singapura Jazz Festival, dan lainnya. Ireng tidak hanya main dalam festival jazz. Lebih dari itu, dia membangun festival jazz di Jakarta pada 1988 saat segalanya belum semudah sekarang. JakJazz Festival pertama kali digelar di Drive-in Ancol (lokasi parkir mobil sambil nonton bioskop), dalam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, sekitar November.
Sekarang Drive-in Ancol sudah tidak ada, tinggal cerita. Selanjutnya, JakJazz yang sukses itu pindah ke Parkir Timur Gelora Bung Karno dan Pasar Festival Kuningan pada 1997. JakJazz terbukti mampu menghibur para pencinta musik, terutama jazz di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari penonton JakJazz yang bukan hanya dari Jakarta, juga dari daerah di Indonesia. Bisa dimengerti, banyak penggemar musik jazz di Indonesia, tapi untuk menonton pertunjukan jazz tidaklah mudah.
Jangankan musisi jazz luar negeri, yang dari lokal pun harus ke Jakarta atau kota besar seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan hanya beberapa lainnya. Jangan membandingkan dengan sekarang, semua orang bisa dengan mudah melihat permainan Miles Davis, Count Basie, Louis Armstrong, dan lainnya dalam satu klik, lewat YouTube . Jadi, begitu JakJazz dimainkan, para penggemar musik jazz dari daerah jauh hari sudah menyiapkan diri ke Jakarta menonton.
Pada masa itu Indonesia memiliki pemusik jazz kelas dunia, seperti Bubi Chen, Bill Saragih, Maryono, Indra Lesmana, Benny Likumahua, Dullah Suweleh, Benny Mustafa, Pattiselano Bersaudara, Idang Rasyidi, dan lainnya. Mereka musisi yang menjadi langganan tampil di berbagai festival kelas dunia, seperti North Sea Jazz Festival di Belanda, Berlin Jazz Festival di Jerman, dan sebagainya. Namun, harus diakui mereka kurang bisa tampil di kotakota di Indonesia.
Sebab, memang tidak banyak promotor yang bersedia menampilkan jazz di daerah karena takut rugi. Ireng dengan kecintaannya kepada jazz sering menjembatani melakukan negosiasi dengan penyelenggara di daerah untuk sebuah pertunjukan jazz di sana. “Kita harus bantu mereka di daerah untuk memperkenalkan jazz. Memang bayaran tidak besar, tetapi jika Jakarta terus, penggemar musik jazz tidak bertambah dan festival jazz akan sepi,” katanya suatu hari. Demam jazz dengan hadirnya JakJazz bisa dilihat, kemudian banyak promotor mendatangkan musisi jazz kenamaan dari luar negeri main di Indonesia.
Era 1990- an merupakan surga bagi penggemar musik jazz di Indonesia karena hampir setiap bulan ada saja artis jazz kenamaan tampil di Indonesia. Kedai jazz pun bermunculan, seperti Jamz bahkan tidak ketinggalan Blue Note Cafe ikut hadir di Jakarta dengan mendatangkan musisi serta penyanyi jazz legendaris, seperti Astrud Gilberto, Mark Murphy, Jon Hendric, Law Rall, dan lainnya. Penyanyi Phil Pery atau gitaris Lee Ritenaur dan lainnya bisa dikatakan langganan main di Jakarta.
Seorang produser rekaman Lodhy Surya juga ikutan memeriahkan dunia jazz Indonesia dengan menerbitkan album-album permainan bintang jazz legendaris dalam bentuk pita kaset lewat label Jazz Corner. Apakah Ireng Maulana hanya menyelenggarakan festival besar dengan JakJazz -nya? Tidak. Ireng Maulana juga membangun pertunjukan jazz di kafe-kafe di Jakarta yang tujuannya untuk memperkenalkan musik jazz kepada mereka yang ingin mengenal jazz.
Sekaligus sebagai sarana hiburan kepada mereka yang suka jazz, tetapi sulit mencari tempat pertunjukan jazz secara langsung. Salah satu yang dibangun Ireng Maulana pada masa itu adalah musik jazz di Pasar Festival Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar 1996. Cukup lama acara yang berlangsung setiap Jumat sore ini sepi pengunjung, tetapi Ireng Maulana dan musisi lainnya, di bawah koordinasinya, terus saja main. Dalam sebuah kesempatan berdua dengan penulis, Ireng meyakini bahwa suatu hari acara jazz di Pasar Festival akan ramai dan beberapa tahun kemudian itu menjadi kenyataan.
Sulit mencari tempat duduk di Pasar Festival pada Jumat sore, ketika itu. Kepedulian Ireng Maulana kepada sesama musisi bisa disimak dari dia membangun Ireng Maulana Associates, organisasi yang tampaknya untuk menaungi para musisi jazz Indonesia. Lewat organisasi ini, Ireng Maulana bekerja sama dengan kafe dan hotel menyelenggarakan pertunjukan musik jazz serta mengajak para musisi jazz Indonesia ikut main.
Dengan cara ini, kerja seni sebagai musisi terjadi, kemampuan bermusik tersalurkan, serta mendapat pemasukan secara ekonomi dan berkomunikasi dengan penggemar musik jazz. Kepedulian Ireng Maulana tersebut dilakukannya sampai beberapa jam menjelang wafat. Sungguh luar biasa dan langka. Selamat jalan Mas Ireng Maulana.
Eddy Koko, Penikmat musik jazz
Dimuat di Koran Sindo, Senin 7 Maret 2016 / http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=1&date=2016-03-07
Boleh jadi, pertanyaan tersebut memunculkan kesan memuji berlebihan. Namun sebagian orang, baik musisi jazz maupun penggemar musik jazz di Indonesia sepakat bahwa Ireng Maulana punya peran besar dalam perkembangan musik jazz di negeri ini. Menyimak sepak terjangnya dalam jazz, Ireng Maulana adalah penggagas Jakarta Jazz Festival atau yang dikenal dengan JakJazz Festival .
Dia juga menggagas sejumlah pertunjukan jazz di kafekafe di Jakarta dan banyak kegiatan jazz lainnya. Sang penggagas itu, Sabtu malam (5/3), dipanggil Tuhan. Sabtu sore, seperti biasa, jadwalnya Ireng Maulana main di Pondok Indah Mal (PIM), Jakarta Selatan, bersama Cendy Luntungan dan musisi lainnya. Sudah lama Ireng main di sini. Pengunjung PIM sudah hafal. Ireng bermain bersama anak muda. Usai dari PIM, Ireng bergegas menuju Restoran Thartine di FX Mal, bilangan Senayan, Jakarta Selatan.
“Ini hari pertama kami main di Thartine. Jam sepuluh Mas Ireng datang langsung main. Tiba-tiba dia bilang badannya tidak enak, sesak napas, bersama Rudy Subekti diantar ke Rumah Sakit Harapan Kita. Sampai sana, dia wafat,” cerita Sam Punuwon, pianis senior yang malam itu main bersama Ireng Maulana. Jadi, sampai beberapa menit menjelang wafat, Ireng masih bergulat dengan musik jazz. Masih main jazz. Ireng juga wafat saat Jakarta sedang ada festival jazz internasional, Java Jazz Festival .
Tidak berlebihan jika mengibaratkan, Ireng Maulana wafat dalam guyuran musik jazz, musik yang dia gemari, cintai, tekuni, dan perjuangkan keberadaannya di Indonesia. Ireng Maulana layak disebut sebagai musisi sejati. Ireng Maulana terlahir dengan nama Eugene Lodewijk Willem Maulana, 15 Juni 1944 di Jakarta. Dalam dunia jazz, terkadang seorang musisi akan diperhitungkan ketika awal karier atau mudanya pernah bermain dengan sang legenda dan tampil di berbagai festival internasional.
Dalam sejarahnya, Ireng muda pernah bermain dengan seniman serbabisa, Bing Slamet dan pianis Mus Mualim, serta tampil di North Sea Jazz Festival , Singapura Jazz Festival, dan lainnya. Ireng tidak hanya main dalam festival jazz. Lebih dari itu, dia membangun festival jazz di Jakarta pada 1988 saat segalanya belum semudah sekarang. JakJazz Festival pertama kali digelar di Drive-in Ancol (lokasi parkir mobil sambil nonton bioskop), dalam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, sekitar November.
Sekarang Drive-in Ancol sudah tidak ada, tinggal cerita. Selanjutnya, JakJazz yang sukses itu pindah ke Parkir Timur Gelora Bung Karno dan Pasar Festival Kuningan pada 1997. JakJazz terbukti mampu menghibur para pencinta musik, terutama jazz di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari penonton JakJazz yang bukan hanya dari Jakarta, juga dari daerah di Indonesia. Bisa dimengerti, banyak penggemar musik jazz di Indonesia, tapi untuk menonton pertunjukan jazz tidaklah mudah.
Jangankan musisi jazz luar negeri, yang dari lokal pun harus ke Jakarta atau kota besar seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan hanya beberapa lainnya. Jangan membandingkan dengan sekarang, semua orang bisa dengan mudah melihat permainan Miles Davis, Count Basie, Louis Armstrong, dan lainnya dalam satu klik, lewat YouTube . Jadi, begitu JakJazz dimainkan, para penggemar musik jazz dari daerah jauh hari sudah menyiapkan diri ke Jakarta menonton.
Pada masa itu Indonesia memiliki pemusik jazz kelas dunia, seperti Bubi Chen, Bill Saragih, Maryono, Indra Lesmana, Benny Likumahua, Dullah Suweleh, Benny Mustafa, Pattiselano Bersaudara, Idang Rasyidi, dan lainnya. Mereka musisi yang menjadi langganan tampil di berbagai festival kelas dunia, seperti North Sea Jazz Festival di Belanda, Berlin Jazz Festival di Jerman, dan sebagainya. Namun, harus diakui mereka kurang bisa tampil di kotakota di Indonesia.
Sebab, memang tidak banyak promotor yang bersedia menampilkan jazz di daerah karena takut rugi. Ireng dengan kecintaannya kepada jazz sering menjembatani melakukan negosiasi dengan penyelenggara di daerah untuk sebuah pertunjukan jazz di sana. “Kita harus bantu mereka di daerah untuk memperkenalkan jazz. Memang bayaran tidak besar, tetapi jika Jakarta terus, penggemar musik jazz tidak bertambah dan festival jazz akan sepi,” katanya suatu hari. Demam jazz dengan hadirnya JakJazz bisa dilihat, kemudian banyak promotor mendatangkan musisi jazz kenamaan dari luar negeri main di Indonesia.
Era 1990- an merupakan surga bagi penggemar musik jazz di Indonesia karena hampir setiap bulan ada saja artis jazz kenamaan tampil di Indonesia. Kedai jazz pun bermunculan, seperti Jamz bahkan tidak ketinggalan Blue Note Cafe ikut hadir di Jakarta dengan mendatangkan musisi serta penyanyi jazz legendaris, seperti Astrud Gilberto, Mark Murphy, Jon Hendric, Law Rall, dan lainnya. Penyanyi Phil Pery atau gitaris Lee Ritenaur dan lainnya bisa dikatakan langganan main di Jakarta.
Seorang produser rekaman Lodhy Surya juga ikutan memeriahkan dunia jazz Indonesia dengan menerbitkan album-album permainan bintang jazz legendaris dalam bentuk pita kaset lewat label Jazz Corner. Apakah Ireng Maulana hanya menyelenggarakan festival besar dengan JakJazz -nya? Tidak. Ireng Maulana juga membangun pertunjukan jazz di kafe-kafe di Jakarta yang tujuannya untuk memperkenalkan musik jazz kepada mereka yang ingin mengenal jazz.
Sekaligus sebagai sarana hiburan kepada mereka yang suka jazz, tetapi sulit mencari tempat pertunjukan jazz secara langsung. Salah satu yang dibangun Ireng Maulana pada masa itu adalah musik jazz di Pasar Festival Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar 1996. Cukup lama acara yang berlangsung setiap Jumat sore ini sepi pengunjung, tetapi Ireng Maulana dan musisi lainnya, di bawah koordinasinya, terus saja main. Dalam sebuah kesempatan berdua dengan penulis, Ireng meyakini bahwa suatu hari acara jazz di Pasar Festival akan ramai dan beberapa tahun kemudian itu menjadi kenyataan.
Sulit mencari tempat duduk di Pasar Festival pada Jumat sore, ketika itu. Kepedulian Ireng Maulana kepada sesama musisi bisa disimak dari dia membangun Ireng Maulana Associates, organisasi yang tampaknya untuk menaungi para musisi jazz Indonesia. Lewat organisasi ini, Ireng Maulana bekerja sama dengan kafe dan hotel menyelenggarakan pertunjukan musik jazz serta mengajak para musisi jazz Indonesia ikut main.
Dengan cara ini, kerja seni sebagai musisi terjadi, kemampuan bermusik tersalurkan, serta mendapat pemasukan secara ekonomi dan berkomunikasi dengan penggemar musik jazz. Kepedulian Ireng Maulana tersebut dilakukannya sampai beberapa jam menjelang wafat. Sungguh luar biasa dan langka. Selamat jalan Mas Ireng Maulana.
Eddy Koko, Penikmat musik jazz
Dimuat di Koran Sindo, Senin 7 Maret 2016 / http://www.koran-sindo.com/news.php?r=4&n=1&date=2016-03-07