SEORANG teman yang tiba-tiba terjun ke dunia politik praktis, sudah terdaftar tetap sebagai Calon Legislator (Caleg) baru-baru ini datang ke saya. Niatnya mau ngobrol, kemudian tanya-tanya pengalaman sebagai caleg 2014. Walaupun saya gagal sebagai legislator, cuma sampai Caleg saja, tetep punya pengalaman. Apalagi saya serius kerja di lapangan untuk mendapatkan suara cukup.
Sebetulnya bukan hanya seorang Caleg 2019 yang datang ngajak ngobrol, tetapi ada juga beberapa yang lainnya. Pertanyaan awal dan sama adalah soal biaya. Habis uang berapa waktu mencaleg atau Nyaleg? Harusnya butuh berapa? Untuk apa saja uang dan mayoritas atau paling besaer untuk apa? Panjang lebar saya utarakan berdasarkan pengalaman. Tentu kalau teman ini tanya pada mantan Caleg lain bisa jadi berbeda tetapi yakinlah banyak samannya.
Perbincangan dengan teman-teman Caleg baru lebih banyak soal besar uang sebagai modal Nyaleg. Saya simpulkan, para Caleg semua sudah mahfum bahwa Nyaleg itu pakai uang. Dan hampir semua sepakat tidak sedikit uang yang dibutuhkan agar bisa menang. Minimal, kita harus punya modal satu milyar rupiah untuk menang, kata seorang Caleg. Pendapat itu diamini Caleg lain meskipun dia belum pernah Nyaleg tapi merasa yakin soal besaran modal tersebut.
Ada yang bilang Nyaleg itu sama dengan judi. Habis duit banyak belum tentu sukses dilantik jadi anggota dewan. Ada benarnya juga. Cerita tentang anggota DPR menghabiskan puluhan milyar untuk sampai di Senayan bukan hanya satu dua orang. Ada yang bangga, ada juga yang lemes walau sukses. Ada muka lama, juga ada muka baru. Tetapi ada juga yang mengaku cuma habis 500 juta sampai dan sukses.
Mungkin ada yang mendebat, ah si anu nggak pakai uang tapi berhasil. Pendapat itu bisa saja benar. Kalau si caleg sejak sebelum dia nyaleg memang sudah populer, baik hati, pekerja dan komunikatif, pasti semua itu modal yang cukup buat keberhasilannya.Bahkan, atas kelakuannya itu, masyarakat memang suka bahkan, bisa jadi, memdorong dia maju jadi legislator. Tapi itu seperti amat langka dalam lautan Caleg yang ribuan itu.
Tiga teman yang datang ngobrol, sebagai Caleg baru, satu mengaku punya modal 500 juta rupiah. Itupun sebagian ngutang dan jual saham, katanya. Satu lagi mengaku punya 900 juta tunai dan siap bertarung. Satu teman lagi masih belum jelas, bahkan ragu ke lapangan karena pada dasarnya tidak minat, hanya untuk memenuhi kuota partai di sebuah wilayah.
Sekali lagi, besaran modal Caleg untuk sukses adalah relatif. Tapi jika menyadari masyarakat kita lebih banyak yang “suka uang” maka uang berkarung kudu disiapkan. Sebagian masyarakat kita tanpa malu-malu membahas soal uang atau minta pada Caleg.
Ketika menjelaskan kepada kepada masyarakat, soal niat kita maju jadi anggota dewan untuk menyalurkan aspirasi rakyat secara serius tidak main-main, ada yang menerima ada yang masa bodoh. Yang paham kemudian justru mau membantu gerakan Caleg tanpa pamrih. Tapi yang masabodo, ya, masabodo, pokoknya nggak kasih uang nggak dukung. “Nyaleg, koq, nggak pakai uang. Nggak zamannya gratisan, Mas!” ucapan yang banyak didengar Caleg.
Apakah jika Caleg kasih uang lantas mereka mendukung? Jangan harap itu terjadi. Dari cara politik uang ini saja sudah bisa diketahui tidak ada yang jujur. Seorang Caleg memberi uang per orang Rp. 100.000 kemudian Caleg lain lebih besar maka bisa luntur upaya bagi-bagi uang tadi. Kalau ada yang bilang sukses sampai dilantik tanpa uang sungguh luar biasa itu anggota dewan.
Dan jangan berharap besar uang yang kita tabur mampu memberikan harapan yg kita inginkan. Tapi, ya, tanpa uang lebih baik mundur. Kalau mundur jadi masalah karena sudah terdaftar, ya, ongkang-ongkang kaki aja. Banyak, koq, yang begitu. 😁.
Ganjar Ora Diundang
Tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo Edisi, Selasa, 8 Juni 2021 DRAMA dengan lakon Ganjar Ora Diundang, ternyata lama...