Tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo Edisi, Selasa, 8 Juni 2021
DRAMA dengan lakon Ganjar Ora Diundang, ternyata lama juga masa “tayangnya”. Berminggu. Banyak yang menonton dan memperbincangkan. Dari warga biasa sampai pengamat politik kondang dan petinggi partai membahasnya. Bahkan penggiat meme pun menjadikan Drama Ganjar ini sebagai inspirasi berkarya. Bayangkan, ada gambar montase Ganjar metenteng (marah besar) siap menerkam dipegangin dua orang agar tenang sementara di depannya berdiri Ketua DPP PDIP, Puan Maharani. Kalau di radio ini masuk anak tangga pertama drama terfavourit. Memang lucu dan menarik.
Kisah Ganjar Ora Diundang ini kiri-kira begini, di halaman rumah Pak RW tiba-tiba berkumpul sejumlah Ketua RT sedang main gundu (kelereng) tapi Pak RW tidak diajak main dan tidak dikasih info. Sebagai ketua RW, Ganjar, mengintip dari dalam rumah, ternyata ada Bu Carik juga bersama para RT bersendau gurau. Tentu Pak RW selaku bawahan Bu Carik tidak berani membubarkan acara main gundu tersebut. Terdengar ada bawahan Bu Carik membacakan Sapta Salah Ganjar alias tujuh kesalahan Ganjar, yaitu ingin jadi kepala desa tanpa izin Bu Carik atasannya. Bacanya kenceng membuat juru warta datang dan mengabarkan kepada khalayak ramai. Ganjar tidak keluar ke halaman tapi pergi naik sepeda ke Jakarta.
Drama Ganjar memang menarik diikuti. Kesalahannya kurang begitu jelas, hanya ditengarai Ganjar Pranowo yang cuma anggota Partai PDIP beraktifitas kebablasan ingin jadi Presiden Republik Indonesia. Pagi subuh, saat yang lain belum bangun, Ganjar sudah kluruk lewat media sosial cari popularitas. Kluruk atau kokok Ganjar ini dirasa mengganggu yang lain dalam komunitasnya. Faktanya Ganjar memang popular di masyarakat dibanding sesama anggota partainya. Padahal, kata Bambang Wuryanto sesama anggota partai, untuk jadi presiden tidak bisa hanya popular di media sosial. Konon, Ganjar sudah dikasih isyarat untuk mengurangi kegiatannya mencari popularitas tapi bablas. Jadi Ganjar Pranowo tidak diundang “main gundu”.
Tidak dipungkiri Ganjar memang popular. Berdasarkan berbagai jajak pendapat posisi Ganjar berada di urutan keempat setelah Jokowi, Prabowo dan Anis Baswedan. Persentasenya dibandingkan dengan Puan Maharani pun lumayan jauh, Ganjar sekitar 12 persen sedangkan Puan hanya 2 persen. Popularitas ini tidak lepas dari peran Ganjar Pranowo menyapa warganya, tampaknya, membuat banyak orang Jawa Tengah merasa senang disentuh pamongnya yang sebelumnya tidak begitu. Ganjar tidak hanya menyapa lewat media sosial tetapi juga media lainnya seperti radio secara rutin. Contohnya, setelah jadi Gubernur Jawa tengah 2012 Ganjar membuat acara Mas Ganjar Menyapa di Radio Trijaya Semarang (2015-2019), setiap pekan, menyapa warga, mendengarkan masukan sekaligus menjawab. Acara ini mirip dengan Bang Yos Mendengar di Radio Trijaya Jakarta setiap Kamis pagi (selama setahun persis, 2005) Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mendengar dan menjawab warga. Konsepnya sama, siaran langsung selama 90 menit dari kediaman dinas Mas Ganjar dan bang Yos.
PERAN MEDSOS
Selain memanfaatkan media radio siaran, selain MGM, sesekali siaran langsung music rock, Ganjar juga memanfaatkan media sosial seperti twitter, youtube dan lainnya. Tidak bisa dipungkiri, saat ini, media sosial salah satu sarana cukup efektif untuk menggerakan dan mempopulerkan berbagai produk termasuk manusia. Medsos dapat digunakan untuk hal positif dan negatif. Kalau ada calon presiden timnya tidak memanfaatkan media sosial saat sekarang sulit rasanya menambah popularitas. Contoh lama, ketika perebutan kursi Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 banyak survey menilai incumbent Fauzi Bowo (Foke) lebih unggul sementara Jokowi hanya populer di media sosial (penggemar Jokowi 18.712 vs Foke 2.862) tetapi pemenangnya Jokowi. Itu dulu. Sekarang pengguna media sosial di Indonesia lebih banyak dari itu waktu. Berdasarkan survey We Are Social Januari 2021 pengguna media sosial sekitar 170 juta orang dari 202 juta penduduk Indonesia dengan durasi tiga jam 14 menit setiap orang sehari melototi smartphone.
Dalam buku Tarung Digital karya Agus Sudibyo, misalnya, diungkap bahwa kemenangan Donald Trump tidak lepas dari pemanfaatan media sosial. Hebatnya, penyebaran kampanye menggunakan media sosial untuk memenangkan Trump tidak dilakukan di Amerika tetapi jauh di Rusia oleh orang Rusia. Dalam penyelidikan yang dilakukan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat kurun waktu 2017-2019, disebut juga dengan istilah Russia Investigation terungkap, setidaknya ada 13 pihak Russia mencampuri Pemilihan Presiden AS dimana Trump menjadi pemenang. Jadi media sosial suatu keniscayaan pada hari ini. Tinggal tujuannya mau positif atau negatif. Tetapi tarung digital dalam pemilihan presiden di Indonesia mendatang tampaknya juga tidak terhindarkan. Akankah orang mengabaikan media sosial?
Jika mencermati kiprah Ganjar Pranowo di media sosial, sebetulnya, biasa saja. Dia omong music rock, naik sepeda seraya incognito, bertemu dan berbincang-bincang dengan warga, sesekali marah-marah kepada aparatnya yang kurang maskimal melayani masyarakat dan melakukan pungli. Kegiatannya terekam dalam media sosial. Kepala daerah yang memanfaatkan media sosial seperti Ganjar Pranowo (pengikut tweetnya 1,9 juta) juga banyak, ada Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Kang Emil dengan 4,4 juta pengikut), Bupati Lumajang, Thoriqul Haq (Cak Thoriq dengan satu juta pengikut) dan masih banyak lainnya. Gubernur seperti Mas Ganjar dan Kang Emil tergolong aktif menjawab pertanyaan atau komentar nitizen. Ada juga pamong yang pengikutnya banyak tetapi cenderung bisu. Popularitas pemimpin yang aktif memanfaatkan media sosial cenderung naik karena masyarakat menilai sebagai pejabat publik mereka komunikatif, terbuka tidak birokratis. Pamong yang tidak memiliki dan memanfaatkam media sosial akan dicurigai masyarakat sebagai pemimpin kuno, tertutup, birokratis, enggan melayani warga dan dicurigai takut ditanya kerjanya yang tidak beres atau memliki agenda korupsi. Melalui media sosial warga mudah melakukan pengaduan dan masukan kepada aparat sehingga banyak hal bisa segera diselesaikan demi kenyamanan masyarakat.
MELODRAMATIK
Dengan tidak diundangnya Ganjar oleh Puan Maharani di Semarang, tempo hari, kemudian menjadi perbincangan media dan masyarakat praktis menambah pula popularitasnya. Sebab, kata Pengamat Politik, Sukardi Rinakit, dalam Talkshow Polemik Radio Trijaya (19 April 2008), membahas topik Pilkada di Indonesia, masyarkat Indonesia itu melodramatik. Yaitu mudah iba, mudah marah dan mudah lupa. Boleh jadi, banyak warga Jateng merasa iba gubernurnya “dizalimi” maka bersimpati dan point Ganjar naik lagi. Tentu ada juga yang tidak suka Ganjar Pranowo. Ada juga anggota masyarakat yang tadinya tidak peduli, karena ramainya pemberitaan, menjadi ingin tau dan mengenal siapa Ganjar Pranowo. Kisah Ganjar ini mirip dengan ketika Menkopolkam Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), suatu hari, tidak diajak rapat kabinet oleh Presiden Megawati kemudian bicara ke media dikomentari ayahanda Puan Maharani, Taufik Kiemas, menyebut, “jendral, koq, seperti anak kecil saja”(2 Maret 2004). Banyak menilai, karena SBY dizalimi ini mengundang simpati masyarakat kemudian jadi Presiden RI.
Dalam bidang pengkaderan teguran atau penghadangan Ganjar Pranowo untuk populer termasuk aneh. Bukankah semestinya setiap partai justru sebaiknya memiliki banyak kader populer? Memilik banyak kader yang dipuja rakyat. Bukankah dengan demikian partai dinilai sukses melakukan pengkaderan dan bisa membuat ciut partai lain? Banyak partai memperoleh suara banyak tetapi tidak memiliki kader sehingga pinjam kader tetangga. Perkara siapa nanti kader yang layak dimajukan menjadi calon presiden tinggal dibahas mekanismennya di internal partai.
Kalau urusan zalimi-menzalim, memang, banyak ceritanya. Banyak contoh dalam pertarungan politik orang yang dizalimi atau teraniaya secara politis, mendapat empati banyak orang. Peristiwa 27 Juli 1996 memposisikan Megawati sebagai orang yang terzalimi, salah satu yang membuat namanya melambung dan menjadi pujaan “wong cilik”. Tahun 1999 partai yang dipimpin Megawati memperoleh suara lebih dari 30 persen. Tetapi orang juga mudah lupa. Misalanya, “lupa” dengan peristiwa 27 Juli 1996 tersebut. Termasuk Megawati sendiri, barangkali.
Begitu sekilas potret masyarakat kita yang melodramatik. Maka, tidak mengherankan jika hadir aktivis pegiat kemanuasian gencar mengkampanyekan “Menolak Lupa” agar peristiwa apapun selalu dikenang, tersimpan dalam ingatan masyarakat. Terlebih jika persoalanya banyak dipublikasikan media nasional dan menjadi buah bibir masyarakat.
Kata ahli agama, orang dizalimi doanya banyak dikabulkan Tuhan.
- Eddy Koko (Wartawan, Mantan Pemred Radio Trijaya Network).
- Baca Koran Sindo selengkapnya: