
ASAL tahu, media radio siaran di Indonesia itu nasibnya ibarat singkong. Tumbuh di semua daerah, dan pernah dimakan oleh hampir semua orang, dari rakyat jelata sampai presiden. Kecuali penyandang cacat pendengaran (maaf), semua pernah mendengarkan radio, walau hanya sekilas. Tetapi seberapa banyak orang menghargai atau bangga terhadap singkong dan radio? Orang lebih bangga makan keju (nonton TV) dibandingkan singkong (dengar radio), padahal singkong dan radio punya sejarah panjang di negeri ini. Itu sekedar bermisal-misal dan analogi pribadi dari pengalaman mengelola radio dan usaha warung makan serba sinkong.
Seperti petani singkong, mengelola radio pun cukup melelahkan dan hasilnya sering tidak sebanding. Banyak pengelola radio harus merengek, berebut kue iklan yang mayoritas dikuasai media bergambar. Tentu ada perusahaan radio yang sukses, tetapi tetap tidak banyak jumlahnya. Tidak perlu jauh melihat ke daerah, cermati saja usaha radio di ibukota, ada pemilik radio yang gemah ripah tetapi tetapi lebih banyak yang susah. Begitupun petani singkong, ada yang kaya tetapi lebih banyak hanya mengenakan kolor dengan kulit hitam legam terbakar matahari.
Jika ingin tahu kenyataan kondisi usaha radio siaran lebih banyak yang semaput, bisa lihat di daerah. Hari ini siaran meriah, boleh jadi karena empunya radio baru dapat bayaran iklan, tetapi lusa yang terdengar hanya desis mirip ular derik alias tidak siaran. Sepi!. Setelah diam tidak jelas alasannya, tiba-tiba radio berkumandang lagi. Tidak ada pendengar protes, seakan sama-sama paham. Lalu, bagaimana radio bisa terus hidup dan ada? Semua itu semata-mata karena kecintaan pemilik dan karyawan kepada radio.
Radio siaran, sejatinya, merupakan media paling murah dan cukup efektif. Seharusnya radio mendapat perhatian banyak pihak, terutama pejabat pemerintah. Hanya media radio yang mampu menjangkau dengan cepat wilayah dimana media lain tidak bisa segera hadir. Melihat sifatnya, maka memanfaatkan radio sebagai media penyampai informasi, terkait sosialisasi dan kampanye atas kebijakan atau program pemerintah yang mendesak akan cukup efektif. Hal itu pula yang mendorong badan PBB untuk pendidikan, organisasi, dan kebudayaan (UNESCO) mencanangkan tanggal 13 Februari sebagai Hari Radio Sedunia. UNESCO menilai, radio dalah salah satu instrumen penting dalam perubahan sosial dunia.
Peringatan hari radio dimaksudkan UNESCO sebagai upaya menyadarkan para pembuat kebijakan tentang pentingnya aliran informasi radio. Sayangnya, di Indonesia pemahaman masyarakat dan pejabat terhadap radio sebagai media efektif sangat kurang bahkan semakin merosot. Sebagian besar birokrat enggan berakrab dengan radio, tetapi lebih memilih tampil di media lain. Kondisi tersebut diperparah dengan jajaran pemerintahan yang bertugas melakukan sosialisasi ke masyarakat, tentang kebijakan departemen atau lembaganya, dengan menomorsekiankan media radio dalam kegiatanya. Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan, antara lain tidak paham karakter radio, menganggap radio sebagai media murahan dan tidak sedikit terkait urusan “proyek”.
Pengalaman mengundang menteri untuk hadir dalam acara Talkshow Radio membuktikan, pada dasarnya banyak pejabat suka berbicara di media radio. Tetapi mereka terkesan tidak mendapat masukan dari stafnya, terutama bagian komunikasi, mengenai perlunya memanfaatkan media radio. Buktinya, ketika pejabat pamit pulang selalu mengatakan, puas bisa bicara di radio karena waktu yang relatif panjang sehingga leluasa menjelaskan programnya. Juga mengaku terhibur bisa berinteraktif langsung dengan pendengar baik melalui Short Message Service (SMS) maupun telepon. Mereka mengungkapkan keinginannya bisa kembali diberi ruang di radio untuk bicara.
Kurang Percaya Diri
Radio sebagai media memiliki perjalanan panjang. Radio yang emnagbarkan peristiwa dan mempopulerkan penyanyi melintas benua. Lewat radio pejuang Indonesia mengetahui Jepang kalah perang dan menyerah menyusul kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Dulu, masyarakat nun jauh “menonton” pertandingan bulu tangkis atau sepakbola melalui siaran radio. Saat kerusuhan Mei 1998, berujung pada jatuhnya Suharto sebagai presiden Indonesia, peran radio begitu besar menyampaikan informasi pergerakan kerusuhan di berbagai kota dan masyarakat menyimak antusias. Begitu besar peran radio tetapi seberapa banyak masyarakat mengingat dan menyadari pentingnya radio? Bagaimana radio yang semula begitu popular kemudian terkesan menjadi media kurang penting?
Berkurangnya pamor radio di Indonesia, harus diakui, salah satunya karena awak radio itu sendiri tidak percaya diri dan lemah kratifitas. Orang radio sering merasa minder dengan media televisi dan cetak, bahkan dengan media online. Fatalnya, banyak awak radio tidak paham tentang karakter radio, sehingga tidak mampu membuat program siaran yang baik serta gagal “menjual” produknya. Akibat semua itu, maka gagal pula meraih pendengar dan iklan, sehingga berdampak kepada kehidupan radio itu sendiri.
Gempuran terhadap kehidupan radio, memang, tidak bisa dihindari seiring dengan kemajuan zaman. Tetapi orang radio harus bangga dan percaya diri, faktanya radio tidak mati karena kehadiran internet seperti terjadi pada sebagian media cetak. Kehadiran internet justru membantu perkembangan radio dalam memperluas siarannya, terutama pada radio berjaringan. Minat kepada siaran radio juga bisa diamati dengan munculnya ribuan radio komunitas melalui frequensi analog maupun digital (streaming). Perlu diketahui, sistem produksi audio radio streaming juga sama dengan radio konvensional, setidaknya ada mikrofon dan mixer audio, hanya beda media siarnya.
Mungkin ada pengelola radio yang kecut ketika mengetahui jajak pendapat Kompas mengungkapkan, posisi radio sebagai tempat mencari informasi nilainya hanya 1,8% di bawah media social (2,9%) dan jauh dari televisi (41,9%), surat kabar (26,6%) dan situs berita (25,9%). Tetapi coba simak survey American Press Institute pada Maret 2014 di Amerika. Dilaporkan, masyarakat mengikuti berita melalui televise sebanyak 87%, laptop / komputer 69%, radio 65% dan koran cetak atau majalah 61%. Tentu tempat dan karakter masyarakat dari kedua tempat survey tersebut berbeda, sehingga hasilnya pun tidak sama. Tetapi perlu diingat, masyarakat di Amerika yang sudah sangat melek internet, pada kenyataannya tetap mendengarkan radio. Penelitian Kompas berdasarkan temuan di 12 kota, sementara di pedesaan masyarakat masih banyak yang setia dengan radio sebagai teman bekerja menorah karet, di pasar dan lainnya.
Percaya diri dan kreatifitas sangat diperlukan dalam mengelola radio. Bukti bawa radio bisa berada pada posisi sejajar dengan media lain adalah Talkshow Polemik Radio Trijaya FM, setiap Sabtu pagi dari Warung Daung, Cikini, Jakarta Pusat. Acara radio yang selalu diliput media cetak, televisi dan online sebagai rujukan dan sumber berita mereka. Pada masanya, acara ini mendapat kepercayaan dari kalangan politisi, akademisi, tokoh masyarakat, LSM, birokrat, pengamat dan lainnya. Mereka mengaku senang diundang sebagai nara sumber Talkshow Polemik. Tidak sedikit mereka yang semula belum terkenal menjadi kesohor setelah tampil di Talkshow Polemik kemudian rutin menjadi pembicara di televsi. Hal itu membuktikan, radio bukan media pinggiran, selama digarap dengan serius.
Mengelola radio sama dengan mengolah bahan singkong menjadi berbagai bentuk makanan seperti, getuk, tiwul, keripik dan sebagainya. Enak di lidah atau enak di kuping pendengar radio tergantung kreatifitas, kecintaan dan keseriusan mengelola radio itu sendiri. Perlu diingat, acara Talkshow Polemik selalu menyajikan makanan singkong olahan kepada nara sumber, meskipun ia seorang menteri dan wartawan yang meliput acara ini. Koki Warung Daun mengolah dan mengemas sajian singkong dengan apik, resik, menarik dan enak. Jadi, jika radio dikelola secara asal, tidak beda dengan singkong yang hanya dikupas kemudian dijemur menjadi gaplek. Rasanya pahit dan apek.
Selamat hari radio sedunia!
Artikel dari Koran Sindo edisi 16 Feb 2015
Oleh: Eddy Koko – Mantan SM & Pemred Radio Trijaya FM