KETIKA dewa piano Duke Ellington meminta Billy Strayhorn datang ke rumahnya di New York, Billy menjawab tidak mengetahui jalan.
Duke pun memberi arahan kepada Billy jalur kereta yang harus ditumpangi dari Pittshburgh ke New York City. Saat menumpang kereta, Billy menulis pengalaman dan menuangkannya dalam lagu yang diberi judul Take The A Train. Lagu tersebut disodorkan kepada Duke Ellington yang tercengang dengan kepiawaian dan bakat Billy Strayhorn. Lagu ini dimainkan pada 1939, kemudian direkam dan menjadi populer, bahkan merupakan salah satu lagu wajib dalam dunia musik jazz. Tetapi, ketika orang mendengar lagu Take The A Train , sebagian besar malah menyebut nama Duke Ellington, bukan Billy Strayhorn. Jazz dan kereta api kemudian menjadi “teman”.
Duke Ellington pun membuat film memainkan lagu Take The A Train dalam format big band di kereta api yang sedang melaju. Bisa dibayangkan repotnya mengangkat piano naik gerbong kereta api, juga posisi pemain yang berjumlah sekitar 16 orang. Sebab, format big band jazz terdiri atas 4 peniup saksofon, 4 trombon, dan 4 trompet, ditambah piano, bas, gitar, drum, dan penyanyi. Belum lagi, kru pengambilan gambar film tersebut dipastikan ribet. https://youtu.be/cb2w2m1JmCY . Pada Februari ini setiap Selasa dan Rabu, entah terinspirasi Take The A Train atau tidak, manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) menghadirkan panggung musik jazz di sejumlah stasiun.
Secara serentak setiap Selasa-Rabu, di sejumlah stasiun besar kereta api, seperti Gambir, Surabaya, Bandung, disajikan pertunjukan musik jazz. Khusus di Stasiun Gambir, panggung diletakkan persis di tengah lokasi penumpang kereta api yang sedang menunggu jadwal keberangkatan. Terlepas ide awalnya apa, musik jazz yang dimainkan secara langsung di stasiun kereta api cukup menarik. Sepertinya peristiwa semacam ini belum pernah ada. Meski di sekitar Gambir dulu ada kegiatan seni, seperti para pengusaha membaca puisi atau zaman dahulu juga merupakan lokasi Pasar Gambir, tetap tidak ada dalam arsip bahwa jazz pernah ada di stasiun kereta.
Saat menunggu kereta berangkat menuju Yogyakarta menjelang malam, terdengar permainan musik jazz. Karena terdengar berbeda dengan suara pemutar compact disc , akhirnya dicarilah sumber suara. Ternyata betul, Beben dkk sedang memainkan musik jazz secara langsung di lantai bawah Stasiun Gambir. Beben Jazz, begitu panggilan akrabnya, adalah anak muda yang giat “meracuni” anak muda di berbagai kota membangun komunitas jazz. Beben membangun Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) sejak 2004 ketika orang masih asyik dengan klub jazz.
Kini Beben dikenal sebagai motor dan guru anak muda yang tertarik pada musik jazz, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga daerah, bahkan kampung-kampung. Kehadiran musik jazz di stasiun, terutama stasiun besar seperti Stasiun Gambir, mampu menghadirkan suasana berbeda. Dikaitkan perkembangan transportasi kereta api yang kini semakin mewah, naik kereta api menjadi pilihan kelas menengah atas. Maka itu, menampilkan musik jazz di sekitarnya merupakan pertimbangan cukup cerdas. Musik pop, rock, dan dangdut bisa dikatakan sesuatu yang sudah lazim, tetapi jazz belum.
Dua puluh tahun lalu, musik jazz masih dianggap milik kalangan menengah atas. Itu bisa dimengerti karena untuk mendapatkan materi musik jazz lumayan sulit dan mahal. Orang kebanyakan tidak bisa dengan mudah mendapatkan rekaman dan majalah musik jazz karena memang tidak sebanyak musik pop, rock, dan dangdut. Karena penggemarnya sedikit, tidak banyak orang mau menjual dan menyelenggarakan musik jazz secara rutin dan murah. Dalam 10 tahun belakangan ini, musik jazz tidak hanya mudah didapat, tetapi juga masuk sampai pelosok desa.
Kemudahan orang mengenal jazz, terutama melalui internet dan diskusi lewat media sosial, menjadikan musik jazz tidak lagi dicap sebagai musik kaum elite. Padahal, penilaian itu juga tidak benar. Sebab, dalam sejarahnya, jazz lahir dari pinggiran, kaum budak, dan kedai-kedai kumuh. Pendeknya, masa kini musik jazz mulai banyak dinikmati dan berusaha dikenal banyak orang. Menyimak perkembangan zaman dan musik Paz, maka menyuguhkan musik jazz di stasiun kereta api bisa diterima. Penumpang kereta api masa kini adalah kaum melek zaman, bahkan bukan tidak mungkin kalangan komunitas jazz di daerahnya.
Ini bisa dilihat dari banyaknya calon penumpang yang berhenti sesaat menikmati pertunjukan Beben dan kawan-kawannya memainkan musik jazz. Sebagian bahkan mencoba naik panggung ikut main (jam session ) atau menyumbangkan suaranya menyanyikan lagu jazz. Menarik, jika pertunjukan musik jazz di Stasiun Gambir dan lainnya akan disajikan secara rutin, tinggal bagaimana menyiasati corak musik dan lagu yang disajikan agar bisa diterima telinga penumpang secara umum.
Memilih lagu Indonesia atau yang banyak dikenal masyarakat umum disajikan lewat musik jazz memudahkan orang mencernanya. Dengan cara ini, penumpang yang semula tidak mengenal musik jazz merasa disapa. Mereka akan sejenak berhenti menyimak lagu kesukaannya dan berharap kemudian menyukai jazz. Beben Jazz dan teman lainnya yang mendapat kepercayaan main di stasiun kereta api harus pandai mengolah lagu rakyat dalam musik jazz. Itu tidak sulit karena dunia jazz merupakan kehidupan mereka sehari-hari.
Menyajikan lagu pop seperti Sepanjang Jalan Kenangan atau lagu dangdut Tidak Semua Laki-laki disuguhkan dalam irama jazz akan membuat penumpang kereta api menoleh, berhenti, dan menikmati.
Oleh:
Edy Koko
Pemerhati Jazz
Dimuat di Koran Sindo http://koran-sindo.com/page/news/2018-02-27/4/8/Jazz_di_Stasiun_Kereta_Api
Duke pun memberi arahan kepada Billy jalur kereta yang harus ditumpangi dari Pittshburgh ke New York City. Saat menumpang kereta, Billy menulis pengalaman dan menuangkannya dalam lagu yang diberi judul Take The A Train. Lagu tersebut disodorkan kepada Duke Ellington yang tercengang dengan kepiawaian dan bakat Billy Strayhorn. Lagu ini dimainkan pada 1939, kemudian direkam dan menjadi populer, bahkan merupakan salah satu lagu wajib dalam dunia musik jazz. Tetapi, ketika orang mendengar lagu Take The A Train , sebagian besar malah menyebut nama Duke Ellington, bukan Billy Strayhorn. Jazz dan kereta api kemudian menjadi “teman”.
Duke Ellington pun membuat film memainkan lagu Take The A Train dalam format big band di kereta api yang sedang melaju. Bisa dibayangkan repotnya mengangkat piano naik gerbong kereta api, juga posisi pemain yang berjumlah sekitar 16 orang. Sebab, format big band jazz terdiri atas 4 peniup saksofon, 4 trombon, dan 4 trompet, ditambah piano, bas, gitar, drum, dan penyanyi. Belum lagi, kru pengambilan gambar film tersebut dipastikan ribet. https://youtu.be/cb2w2m1JmCY . Pada Februari ini setiap Selasa dan Rabu, entah terinspirasi Take The A Train atau tidak, manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) menghadirkan panggung musik jazz di sejumlah stasiun.
Secara serentak setiap Selasa-Rabu, di sejumlah stasiun besar kereta api, seperti Gambir, Surabaya, Bandung, disajikan pertunjukan musik jazz. Khusus di Stasiun Gambir, panggung diletakkan persis di tengah lokasi penumpang kereta api yang sedang menunggu jadwal keberangkatan. Terlepas ide awalnya apa, musik jazz yang dimainkan secara langsung di stasiun kereta api cukup menarik. Sepertinya peristiwa semacam ini belum pernah ada. Meski di sekitar Gambir dulu ada kegiatan seni, seperti para pengusaha membaca puisi atau zaman dahulu juga merupakan lokasi Pasar Gambir, tetap tidak ada dalam arsip bahwa jazz pernah ada di stasiun kereta.
Saat menunggu kereta berangkat menuju Yogyakarta menjelang malam, terdengar permainan musik jazz. Karena terdengar berbeda dengan suara pemutar compact disc , akhirnya dicarilah sumber suara. Ternyata betul, Beben dkk sedang memainkan musik jazz secara langsung di lantai bawah Stasiun Gambir. Beben Jazz, begitu panggilan akrabnya, adalah anak muda yang giat “meracuni” anak muda di berbagai kota membangun komunitas jazz. Beben membangun Komunitas Jazz Kemayoran (KJK) sejak 2004 ketika orang masih asyik dengan klub jazz.
Kini Beben dikenal sebagai motor dan guru anak muda yang tertarik pada musik jazz, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga daerah, bahkan kampung-kampung. Kehadiran musik jazz di stasiun, terutama stasiun besar seperti Stasiun Gambir, mampu menghadirkan suasana berbeda. Dikaitkan perkembangan transportasi kereta api yang kini semakin mewah, naik kereta api menjadi pilihan kelas menengah atas. Maka itu, menampilkan musik jazz di sekitarnya merupakan pertimbangan cukup cerdas. Musik pop, rock, dan dangdut bisa dikatakan sesuatu yang sudah lazim, tetapi jazz belum.
Dua puluh tahun lalu, musik jazz masih dianggap milik kalangan menengah atas. Itu bisa dimengerti karena untuk mendapatkan materi musik jazz lumayan sulit dan mahal. Orang kebanyakan tidak bisa dengan mudah mendapatkan rekaman dan majalah musik jazz karena memang tidak sebanyak musik pop, rock, dan dangdut. Karena penggemarnya sedikit, tidak banyak orang mau menjual dan menyelenggarakan musik jazz secara rutin dan murah. Dalam 10 tahun belakangan ini, musik jazz tidak hanya mudah didapat, tetapi juga masuk sampai pelosok desa.
Kemudahan orang mengenal jazz, terutama melalui internet dan diskusi lewat media sosial, menjadikan musik jazz tidak lagi dicap sebagai musik kaum elite. Padahal, penilaian itu juga tidak benar. Sebab, dalam sejarahnya, jazz lahir dari pinggiran, kaum budak, dan kedai-kedai kumuh. Pendeknya, masa kini musik jazz mulai banyak dinikmati dan berusaha dikenal banyak orang. Menyimak perkembangan zaman dan musik Paz, maka menyuguhkan musik jazz di stasiun kereta api bisa diterima. Penumpang kereta api masa kini adalah kaum melek zaman, bahkan bukan tidak mungkin kalangan komunitas jazz di daerahnya.
Ini bisa dilihat dari banyaknya calon penumpang yang berhenti sesaat menikmati pertunjukan Beben dan kawan-kawannya memainkan musik jazz. Sebagian bahkan mencoba naik panggung ikut main (jam session ) atau menyumbangkan suaranya menyanyikan lagu jazz. Menarik, jika pertunjukan musik jazz di Stasiun Gambir dan lainnya akan disajikan secara rutin, tinggal bagaimana menyiasati corak musik dan lagu yang disajikan agar bisa diterima telinga penumpang secara umum.
Memilih lagu Indonesia atau yang banyak dikenal masyarakat umum disajikan lewat musik jazz memudahkan orang mencernanya. Dengan cara ini, penumpang yang semula tidak mengenal musik jazz merasa disapa. Mereka akan sejenak berhenti menyimak lagu kesukaannya dan berharap kemudian menyukai jazz. Beben Jazz dan teman lainnya yang mendapat kepercayaan main di stasiun kereta api harus pandai mengolah lagu rakyat dalam musik jazz. Itu tidak sulit karena dunia jazz merupakan kehidupan mereka sehari-hari.
Menyajikan lagu pop seperti Sepanjang Jalan Kenangan atau lagu dangdut Tidak Semua Laki-laki disuguhkan dalam irama jazz akan membuat penumpang kereta api menoleh, berhenti, dan menikmati.
Oleh:
Edy Koko
Pemerhati Jazz
Dimuat di Koran Sindo http://koran-sindo.com/page/news/2018-02-27/4/8/Jazz_di_Stasiun_Kereta_Api