SEJUMLAH teman ketika diperdengarkan instrumen lagu Moliendo Cafe ciptaan Hugo Blanco dengan cepat menyebut lagu tersebut Kopi Dangdut. Saat diperdengarkan versi dari suara Julio Iglesias, mereka menduga lagu Kopi Dangdut mengalami kemajuan, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
Padahal, sebaliknya, Moliendo Cafe yang diganti nama menjadi Kopi Dangdut oleh Fahmi Sahab sekitar tahun sembilan puluhan. Lagu Moliendo Cafe diciptakan Hugo Blanco pada tahun 1958 dan menjadi hit di Argentina sekitar tahun 1961.Kemudian lagu ini memiliki 800 versi, termasuk versi dangdut di Indonesia.Lagu Moliendo Cafe banyak dimainkan atau dikenal sebagai Latin jazz, seperti Nicki Denner Latin Jazz Trio,Fernando Knopf Latin Jazz Band,atau di Indonesia,pianis Bubi Chen juga pernah memainkannya.
Saya tidak hendak membahas soal Fahmi Sahab mengubah lagu. Itu akan menjadi perdebatan panjang. Tetapi, menarik mencermati musik jazz yang dikaitkan dengan berbagai aliran musik lainnya.Jazz ditempel dengan pop, rock, R&B, dan sebagainya.Bahkan,lagu-lagu Jawa yang selama ini dikenal lewat keroncong atau campur sari, belakangan juga mulai dilirik oleh bossa nova.
Bossa nova memang musik Brasil yang disusupi jazz oleh Antonio Carlos Jobim sehingga tidak ada dalam cabang pohon jazz. Bagaimana Indonesia dengan dangdutnya? Belajar dari bossa nova yang sekarang menjadi identik dengan Brasil, seharusnya dangdut juga bisa. Ketika Jobim kembali dari menggeluti jazz di Amerika dan memasukkan unsur jazz dalam musik tradisional Brasil, kritik pun menerpanya.
Bersama saxophonist Stan Getz dan gitaris Charlie Byrd pada akhirnya bossa nova diterima dunia. Bahkan, seakan-akan menjadi lagu wajib para musisi jazz. Mengambil contoh bossa nova, sebetulnya, Indra Lesmana sudah dengan cerdas memadukan dangdut dengan jazz bersama Camelia Malik dalam Trakeba di Jakjazz Festival sekitar tahun 1997.
Tetapi tidak jelas, mengapa eksperimen tersebut tidak dilanjutkan? Berhenti karena kritik atau dana? Tidak banyak yang tahu,ketika Inul Daratista belum terkenal,sekitar tahun 2001 justru ia sudah tampil di Belanda dalam acara Pasar Malam di Den Haag.Inul di-bon sebagai penyanyi oleh Harold Berghuis, gitaris jazz Belanda yang juga membentuk grup Dangdut Bule. Secara pribadi, Harold mengungkapkan, ingin melakukan eksperimen dangdut dengan jazz,tapi tampaknya memang kurang komersial dan sulitnya mencari tukang gendang.
Harold harus menyewa tukang gendang dari India. Kini, Harold konsentrasi dengan grup jazznya, Hot Club de Frank, membuat album dan ngamen ke berbagai negara.Seperti yang dilakukan Indra atau Harold, ada indikasi dangdut sangat memungkinkan menjadi musik dunia melalui jazz seperti bossa nova. Diyakini sudah ada yang melakukan eksperimen terhadap dangdut dengan jazz, layaknya Jobim menghasilkan bossa nova.
Tetapi, tidak terpublikasi dan kurang konsisten. Benny Likumahua bersama Aji Rao (perkusi) juga pernah memainkan lagunya Christina, Jatuh Bangundalam irama jazz di Goes To Campus Universitas Indonesia, beberapa tahun lalu.Cukup menarik perhatian penonton,tentu mereka penggemar musik jazz.Tetapi, hanya sampai di situ. Mungkin mulai dicoba dengan terus-menerus memasukkan unsur jazz dalam dangdut tanpa membongkar fondasinya.
Gendang yang identik dengan dangdut perlu dipertahankan, sementara secara perlahan memasukan napas jazz melalui gitar atau alat saksofon misalnya. Chord dibuat lebih progresif, sentuhan improvisasi, blue note secara perlahan ”dibiasakan”. Kritik dan penolakan dipastikan akan muncul di awal eksperimen jazz dangdut.
Seperti halnya, Jobim ketika memasukan blue note ke dalam musik Brasil. Orang yang belum biasa akan menilai aneh karena blue note memang nada miring. Tetapi,jika konsisten,niscaya suatu hari jazz dangdut akan mendunia. Ingat, jazz dan dangdut punya kesamaan.Sama-sama lahir dari pinggiran.***
Tulisan ini dimuat di Koran Seputar Indonesia 8 Maret 2010
Idang Rasjidi Pahlawan Komunitas Jazz Indonesia
KAPAN dan dimana saja ada Idang Rasyidi disitu ada anak muda. Idang bagaikan bunga manis yang selalu dikerubuti lebah...