Diceritakan oleh Iriani Sastranegara
RABU, 13 Mei meninggalkan ruang seminar, bergegas pulang, keluar dari kantor, menumpang taksi. Sepanjang perjalanan antara Jalan Sudirman, Jakarta Pusat dan rumahku di Kawasan Palmerah, Jakarta Barat tampak sejumlah pompa bensin sudah terbakar. Massa beringas tampak dimana-mana dan membuatku ketakutan. Saya masih merasa aman karena bersama pengemudi. Sampai Slipi, beberapa meter lagi Palmerah sopir taksi menghentikan kendaraanya. Terlihat di depan taksi kerusuhsan terjadi, banyak masa membakar apa yang ingin mereka bakar. “Bu, ibu turun sini saja. Saya tidak berani melintas. Saya mau balik. Saya takut,” ucapan pak sopir seketika membuat saya yang wanita ini amat sangat ketakutan. Saya turun di sini, di tempat kerusuhan?!
Saya ingat betul hari itu Rabu, 13 Mei 1998. Seperti biasa saya harus keluar rumah untuk ke kantor di kawasan Glodok, Jakarta Barat tetapi hari itu saya ada seminar di salah satu Gedung di Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Pusat. Jadi tidak ke Glodok.
Sebetulnya, saya sudah ragu keluar rumah karena kemarin malam, tanggal 12 Mei 98, sudah ada info kerusuhan mulai terjadi menyusul tewasnya mahasiswa Universitas Trisakti yang tertembak dalam demonstrasi tidak setuju kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Tetapi karena demo mahasiswa sudah berlangsung berhari-hari dan tidak ada masalah sehingga saya putuskan berangkat menuju kegiatan seminar diantar sopirku, Asep. Sampai lokasi seminar saya minta Asep kembali ke rumah dan akan saya kabari kapan harus jemput lagi.
Sebelum sampai tempat seminar saya sudah sempat telpon kantor memerintahkan, kepala operasional mensetor seluruh uang yang ada di brankas ke Bank Indonesia. Saya langsung ikut seminar yang dimulai pukul 08.00. Tapi Seminar belum selesai, sekitar pukul 11.00 saya melihat ke bawah terlihat situasi sepi. Kebetulan ruang seminar berada di lantai atas tetapi saya sudah lupa lantai berapa sehingga melalui jendela dapat melihat langsung suasana sekitar jalan Jendral Sudirman sepi tidak seperti hari-hari biasa selalu ramai bahkan macet.
Dari ruang seminar saya melihat langsung sejumlah stasiun pengisian bahan bakar (pompa bensin) sudah terbakar. Saya ingat sekali tidak hanya satu tapi lebih. Saya merasakan ada yang mulai tidak beres dengan Jakarta. Bukan sekedar demo mahasiswa. Seketika saya langsung telpon kantor dari lokasi seminar, memerintahkan para karyawan pulang segera. Yang terpikirkan oleh saya saat itu adalah keselamatan karyawan. Uang perusahaan sudah sampai ke Bank Indonesia sehingga sedikit membuat saya tenang. Saya juga minta seminar dihentikan saja. Begitu seminar bubar saya langsung telpon ke rumah untuk minta dijemput dengan mobil tetapi mendapat jawaban, tidak ada yang bisa keluar Palmerah lagi karena semua rumah, pertokoan termasuk Ramayana, pompa bensin dan sebagainya sudah dibakar. Saya panik!
Saya dan semua peserta seminar bergegas keluar ruang untuk pulang. Selamatkan diri dan segara sampai rumah, itu yang ada dalam pikiran semua orang. Saya langsung stop taksi dan naik menuju Palmerah, pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dari balik jendela taksi terlihat suasasaa sepi tetapi kerumunan masa ada di setiap komplek bisnis atau pertokoan dan asap hitam kebakaran mengepul dari berbagai penjuru Jakarta. Asapnya membumbung tinggi dari mana-mana. Ada apa dengan Jakarta? Saya semakin was-was dan ketakutan. Tidak terlihat ada polisi atau tentara sepanjang jalan yang kami lalui bersama pak sopir traksi. Saya dan pak sopir saling membisu. Ketika taksi mau belok ke Pasar Palmerah, rumah saya tidak jauh dari sana, saya melihat dan mendengar orang-orang berteriak beringas seraya membakar apa yang mereka ingin bakar. Sejenak taksi berhenti. Kami melihat suasana ngeri di depan. Kebakaran!
Taksi tidak lama berhenti. Sopir taksi kemudian meminta saya turun di ujung pintu masuk Palmerah, beberapa meter lagi rumah saya. Saya betul-betul kaget dan panik mendengar permintaan pak sopir taksi. Meskipun tinggal bebrapa langkah lagi sampai rumah tetapi mana mungkin saya wanita berani turun? Bunuh diri, piker saya. Tapi kalau saya tidak turun lantas bagaimana? Seketika saya menjawab, saya ikut jalan pak sopir. Jalan dulu menghindar kerusuhan. Pak sopir bingung mendengar keputusan saya. Kami menjauh. Kemana? Sopir taksi juga bingung mengarahkan taksinya kemana? Yang penting menjauh dari kerusuhan. Ketika taksi melintas Kawasan Permata Hijau, Senayan tiba-tiba saya teringat ada nasabah bank tempat saya bekerja yang tinggal di sini. Saya langung minta sopir mengarahkan taksi ke alamat yang saya sebutkan. Berhasil.
Keberuntungan ada di diri saya. Tuhan masih melindungi saya. Nasabah saya ada di rumah. Saya ketuk pintu. Rupanya mereka juga sudah was-was, tapi kemudian berhasil melihat saya dan mempersilahkan segera masuk rumahnya. Kami yang ada di rumah nasabah tersebut bersama-sama menonton siaran televisi yang menayangkan kerusuhan dan kebakaran ada dimana-mana. Saya masih berpikir nanti sore bisa pulang ke rumah. Ternyata tidak. Suasana Jakarta makin tidak karuan dan mencekam. Semakin malam berita di radio dan televisi betambah menggila. Saya berhasil menelpon ke rumah mengabarkan bahwa saya dalam situasi aman di rumah nasabah. Saya mendengar melalui telpon anak-anak saya menangis ketakutan. Ternyata suami saya juga tidak berhasil pulang, malam itu dia menginap di kantor. Info dari rumah, dikabarkan tinggal beberapa rumah termasuk rumah saya yang tidak dibakar. Sejumlah warga menjaga rumah saya dengan mengatakan kepada perusuh, jangan ganggu karena kami memang bertetangga baik dengan masyarakat sekitar. Aman.
Saya malam itu menginap di rumah nasabah kantor saya. Subuh, saya diantar sopir nasabah pulang ke rumah menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan antara Permata Hijau ke Palmerah yang jaraknya sekitar tujuh kilometer masih saya lihat kerusuhan dan penjarahan. Sasya melihat orang membobol ATM, banyak orang menenteng barang-barang dari supermarket. Suasana semacam ini saya sempat lihat kemarin sehingga saya membayangkan penjarahan tidak berhenti sejak kemarin sampai subuh pagi ini. Sepeda motor yang saya tumpangi tidak pernah berhenti. Terus jalan. Jangan mencari urusan dengan perusuh. Akhirnya saya sampai rumah.
Lewat gang disamping rumah saya mengendap masuk ke perumahan dimana kami tinggal. Saya masuk dari pintu belakang. Suami saya yang terjebak suasana kerusuhan juga tidak lama kemudian pulang. Kami berkumpul, berpelukan, menangis bersama. Kami semua seamat. Puji Tuhan.
Semoga peristiwa mengerikan seperti kerusuhan 13 Mei 1998 tidak lagi terulang. Cukup kami generasi 98 yang mengalami dan menyaksikan. Ngeri.
Damai untuk negeri kita, Indonesia.***